Kesan pertama saat menginjakkan kaki di Praya, yang notabene merupakan ibukota Kabupaten Lombok Tengah, saya seperti tengah berada di kota mati. Begitu sunyi. Ada banyak bangunan, rumah dan pertokoan yang dialihfungsikan sebagai sarang burung walet. Kesan tengah berada di kota mati dan kurang produktif berangsur-angsur mereda setelah saya menaiki angkutan pedesaan menuju Kuta Mandalika.Â
Lombok Tengah pun tampak seperti kota-kota lain di Indonesia yang didominasi oleh kehidupan dan kultur masyarakat agraris. Apa yang membuatnya tampak sepi tak lebih karena populasinya yang kurang dari 900 ribu jiwa menurut data tahun 2014. So, sangat tidak bijak mengharapkan keramaian dan hiruk pikuk bak di kota-kota Pulau Jawa.
Saat menggunakan jasa angkutan pedesaan di Lombok Tengah, Anda akan diajak lebih mengenal kabupaten kecil ini. Apa yang menguras kesabaran tak lain adalah angkutan yang baru bakal berangkat setelah terisi penuh. Baik penuh oleh manusia ataupun oleh barang belanjaan. Itu saja. Selebihnya, Anda akan bertamasya mengelilingi Lombok Tengah karena sang sopir tak ragu mengantarkan penumpang yang tujuannya paling dekat terlebih dahulu hingga di depan pintu rumahnya. Alhasil, saya tidak bisa mengetahui persis berapa lama waktu tempuh ideal dari Pasar Renteng menuju Pantai Kuta Mandalika. Lebih-lebih, kebanyakan angkutan pedesaan berakhir di Pasar Sengkol, yang memakan ongkos 10 ribu rupiah per orang.
Hari itu saya beruntung. Sopir bersedia mengantar ke Pantai Kuta Mandalika dengan biaya 5 ribu rupiah saja. Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, saya pun tiba di tujuan terakhir; dan melewati Desa Adat Sade di Rembitan yang terkenal itu. Angkutan pedesaan yang sama menurunkan saya di perempatan paling ramai di Kuta Mandalika, yang dipenuhi kafe dan restoran.
Terik mentari yang membakar kulit langsung sirna saat berhadapan langsung dengan panorama dari tepian Pantai Kuta Mandalika. Memang tidak sedikit kotoran yang mengumpul di bibir pantai. Tapi, kotoran ini sepenuhnya organik; berupa rerumputan, bukan sampah plastik. Dan, semuanya bercampur dengan rumput laut yang oleh warga lokal disebut uten-uten. Semua warga lokal yang saya temui mengatakan uten-uten rasanya enak dan bisa langsung dimakan. Warnanya hijau segar dan sekilas tampak seperti rumput laut. Saat menua, tanaman ini berubah menjadi keras seperti karang dan tidak bisa dimakan.
Apa yang membuat berada di Pantai Kuta Mandalika terasa lebih nyaman dari Pantai Kuta di Bali tak lain adalah wisatawan asing yang relatif lebih beradab, baik dari segi pakaian maupun tingkah laku. Kebanyakan datang berpasangan dan tampak tengah berbulan madu. Di sisi lain, Pantai Kuta Mandalika memungkinkan saya rebahan dengan tenang di atas pasir, jauh dari kekhawatiran atas keberadaan kotoran anjing sebagaimana di Kuta Bali.Â
Satu-satunya gangguan atas privasi adalah anak-anak kecil dan para penjaja suvenir yang tak henti mengerumuni. Mereka tampak sadar betul bahwa yang didamba oleh para wisatawan di Kuta Mandalika adalah privasi. "Kamu ingin privasi dan ketenangan? Beli dagangan kami," kurang lebih begitu motto yang mereka pegang. Jangan salah, bro. Sekali membeli, penjual lain bakal berdatangan. Sangat mengganggu. Dan, jangan abaikan barang bawaan Anda; peristiwa kecurian bukan hal aneh di pantai ini.Â
Berhubung pantai ini baru dikelola dengan baik, belum ada infrastruktur yang nyaman dan memadai. Tidak ada pepohonan di tepi pantai yang memungkinkan wisatawan untuk tidur (bukan berjemur) diiringi suara debur ombak sebagaimana di Pantai Senggigi ataupun Kuta Bali.Â
Satu-satunya solusi dari panas yang menyengat adalah berenang di air lautnya yang biru, bening dan bersih (ada satu sisi pantai yang bebas dari sampah organik, kok). Jika beruntung, Anda bisa berenang ditemani ikan-ikan yang cantik. Benar-benar alami. Saking alaminya, Anda bisa bertemu kawanan kerbau dan berbagai hewan ternak lainnya di sekitar pantai.
Kalau Anda hobi berselancar, saya sarankan untuk berjalan lebih jauh ke arah timur, menuju Pantai Gerupuk. Lokasi ini menjadi spot favorit mereka yang hobi surfing. Tidak perlu khawatir kesepian saat berjalan kaki menuju tempat ini. Anda akan menemukan teman selama perjalanan yang memakan waktu kurang dari 2,5 jam itu, entah itu wisatawan asing maupun sapi dan kerbau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H