Mohon tunggu...
Farid Solana
Farid Solana Mohon Tunggu... Wiraswasta - I work alone. And I don't do anything random.

I work alone. And I don't do anything random.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kuta Mandalika dan Rejeki "Freelance" (Bagian 3)

5 Maret 2018   17:37 Diperbarui: 5 Maret 2018   17:42 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Mayura yang terletak di ujung timur Cakranegara (pesonalomboksumbawa.info)

'Ada Bali di Lombok, tapi tidak ada Lombok di Bali'. Ungkapan tersebut tidak berlebihan, kiranya, dan benar-benar terasa saat saya berjalan kaki menyusuri jalan Pejanggik yang membelah lingkungan Pajang. Ini merupakan rute paling singkat dan nyaman saat seseorang ingin melanjutkan perjalanan dari Taman Sangkareang menuju lingkungan Cakranegara.

Baik lingkungan Pajang maupun Cakranegara didominasi warga keturunan Bali. Tak ayal lagi, berbagai cita rasa Hinduisme begitu terasa di sini, berbaur dengan deretan pohon kenari (Canarium commune) berusia puluhan tahun yang membentang diselingi pohon mahoni dan sengon.

Pohon kenari tersebut ditanam secara sengaja mulai dari ujung jalan Langko -- yang terletak di ujung bibir kawasan Ampenan -- hingga lingkungan Sweta, yang mana merupakan tujuan akhir perjalanan kaki saya hari ini. Melihat sekumpulan buah kenari tidak lagi merupakan hal asing bagi saya ketika berjalan kaki di kawasan ini; sama halnya ketika melihat gerombolan anjing di ujung gang perkampungan Bali, baik di Pajang maupun Cakranegara.

Lepas dari lingkungan Pajang, saya disambut kawasan Cakranegara. Nah, jika Anda kangen dengan masakan Jawa Timur, kawasan ini bisa menjadi tempat tujuan. Hanya saja, jangan segan untuk bertanya terlebih dahulu soal harga makanan. Jika tidak, Anda kemungkinan besar harus membayar harga yang cukup tidak masuk akal dari menu sederhana seperti pecel, rujak cingur, rawon atau nasi campur. Para pedagang makanan Jawa Timur tersebut, yang kebanyakan berasal dari Jember, tidak segan menarik harga yang fantastis; mengalahkan biaya makan di Mataram Mall yang bertengger tepat di pintu masuk kawasan Cakranegara. Ini persoalan standar yang selalu ditemui di tempat wisata di Nusantara dimana tak ada price list di setiap tempat makan.

Mataram Mall termasuk mall tertua di Kota Mataram dan, ketika saya singgahi, tampak tengah dalam proses menuju perbaikan di sana-sini. Di mall dengan 4 lantai ini terdapat gerai McDonalds dan KFC terdekat dari pusat kota. Mengingat dulunya Cakranegara merupakan pusat pemerintahan sebuah kerajaan Hindu Bali, bukan hal yang mudah untuk menemukan masjid, terutama di kawasan yang membujur dengan arah yang sama dengan pusat perbelanjaan modern paling tua di kota ini.

Kurang lebih dari arah barat ke timur, dimulai dari Jl. Cilinaya di barat mall, hingga Pasar Cakranegara di ujung timur, tidak akan ada satupun masjid di sepanjang jalan itu. Kalau Anda ingin beribadah, cukup menyeberang ke utara dari Mataram Mall, masuk ke Jl. Merpati di kawasan Karang Jangkong. Di lokasi yang oleh masyarakat lokal dikenal juga sebagai Kampung Jawa ini terdapat sebuah masjid yang jaraknya hanya 2 menit berjalan kaki. Masjid satunya lagi berada di selatan mall, berjarak 5 menit jalan kaki, di kawasan Karang Tapen, tidak jauh dari Pasar Karang Lelede.

Beda dulu, beda pula sekarang. Kini kawasan Cakranegara mengalami transformasi sebagai pusat kegiatan bisnis di Kota Mataram. Jadi, kalau Anda kebetulan memerlukan layanan perbankan yang prima di pulau ini, maka Cakranegara lah tujuan pertama dan utama Anda. Hampir semua bank swasta asing atau lokal ada di sini, terlebih bank pemerintah. Dan, semuanya bisa diakses dengan berjalan kaki tidak jauh dari Mataram Mall, lho.

Aroma Bali kian terasa saat berada di lingkungan Mayura yang saya masuki begitu berpisah dari Pasar Cakranegara. Di sini ada sebuah taman yang dibuat oleh Raja A.A. Made Karangasem di tahun 1700an ketika kerajaan Bali berkuasa di Lombok. Taman Mayura, namanya.

Di sekitar taman tersebut berdiri sejumlah pura berukuran besar, dan konon merupakan yang paling besar dan tua di Lombok. Taman Mayura tampak terawat dengan baik untuk ukuran situs yang usianya ratusan tahun. Ia berbatasan di sisi timur dengan sarana olah raga yang berisi kolam renang dan lapangan tenis yang dulunya dikelola oleh Pemprov NTB.

Sayang sekali, bangunan tersebut tampak sengaja dibiarkan rusak untuk kemudian direnovasi lagi. Dari sekian sarana olah raga yang tersedia, hanya kolam renang yang bisa digunakan. Hawa sejuk di sekitar kolam renang tak hanya membuat manusia untuk mendekat, tapi juga sejumlah anjing yang dimiliki warga sekitar Taman Mayura. Di luar, udara terasa mulai panas; mendorong saya bergegas melanjutkan perjalanan ke kawasan Sweta.

Kehidupan ekonomi di antara Cakranegara dan Sweta terwakili oleh deretan ruko. Di sela-sela ruko tersebut terdapat pura dan perumahan penduduk. Tepat di ujung Cakranegara saya disambut oleh TransMart yang diresmikan 23 Juni 2017 lalu. Satu hal yang unik dari Kota Mataram adalah, dilihat dari pelat nomor kendaraan bermotor yang terparkir di luar mall, baik Mataram Mall maupun TransMart, perekonomian kota ini hidup karena tingginya kunjungan mereka yang dari Pulau Sumbawa; Kabupaten Sumbawa Barat, Bima, dan Dompu, misalnya.

suarantb.com
suarantb.com
Tak jauh dari persimpangan Cakranegara-Sweta, terdapat Masjid Ar Rahmah yang diresmikan Soeharto di tahun 1986 dengan pendanaan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Masjid ini cukup unik. Tidak ada kemegahan sebagaimana kebanyakan masjid yang dibangun di Pulau Lombok.

Tampilannya sederhana namun asri dengan deretan pohon mangga dan fasilitas yang memadai dan teras yang nyaman. Yang lebih unik lagi, 'penguasa' masjid ini bukanlah orang Nahdlatul Wathan, melainkan Nahdlatul Ulama. Dari perbincangan singkat dengan pengurus masjid seusai menjalankan shalat Dhuha, diketahui kalau pengurus takmir masjid ini didominasi oleh imigran dari Banyuwangi dan Jember.

Dan, ternyata, tujuan saya tidak jauh. Kurang dari 1 km saya telah tiba di Terminal Mandalika yang lokasinya tak jauh dari Pasar Bertais setelah sebelumnya disuguhi kicau suara burung walet dari ruko-ruko mangkrak yang sengaja digunakan sebagai sarang burung itu.

Bukan hal yang tepat untuk banyak bertanya di tempat asing seperti ini. Saya lebih suka menghabiskan waktu barang beberapa menit untuk mengetahui pola interaksi yang ada sehingga mengetahui ongkos ke Praya yang sebenarnya tanpa banyak cakap. Tak lama setelah menemukan lokasi yang tepat untuk naik angkutan jenis colt ke Kabupaten Lombok Tengah, yakni di seberang kantor pemasaran Phoenix Residence, saya pun siap meninggalkan Kota Mataram.

Waktu itu masih jam 9 pagi, dan saya tiba di Pasar Renteng, Praya kurang dari 1 jam. Jangan pernah menggubris saat Anda diminta ongkos Mataram-Praya lebih dari Rp 7.000,- per orang, karena itu artinya Anda ditipu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun