Mohon tunggu...
Farid Solana
Farid Solana Mohon Tunggu... Wiraswasta - I work alone. And I don't do anything random.

I work alone. And I don't do anything random.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kuta Mandalika dan Rejeki "Freelance" (Bagian 2)

6 Desember 2017   05:56 Diperbarui: 7 Desember 2017   00:51 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Dasan Agung (Dokumentasi Pribadi)

Orang Lombok kemungkinan besar memandang tidak ada yang istimewa dengan nasi campur. Tapi itu berbeda bagi pelancong seperti saya. Aroma rempah yang begitu kuat membungkus berbagai macam sayur dan biji-bijian serta beberapa sisir daging ayam. Di manapun nasi campur berada, seperti itulah keberadaanya. Dan, sebagaimana di titik lain di pulau ini, harga seporsi nasi campur di Pasar Dasan Agung relatif sama: 5 ribu rupiah!

"Enak dan murah tenan. Bergizi pula," batin saya. Sungguh sarapan yang sehat.

Tak lupa sebungkus urap dan satu lontong saya beli untuk bekal makan siang nanti. Itu pun hanya memakan biaya 3 ribu rupiah. 2 ribu untuk urap yang volumnya sebesar dua kepalan tangan orang dewasa, dan seribu untuk lontong berbentuk kerucut dengan diameter 8 cm dan panjang 10 cm.

Untuk snack selama perjalanan, saya mempercayakan rasa nikmat dan kenyang pada celilong. Ini adalah makanan tradisional yang di Jawa umum disebut dengan lemet. Sama dengan lemet, celilong dibuat dari singkong yang dikukus dan di bagian tengahnya diselipkan gula merah. Satu biji celilong berukuran panjang 10 cm dan diameter 3 cm dikenai harga seribu rupiah. Saya memutuskan membeli 3 biji celilong untuk bekal.

Sementara untuk kebutuhan air minum, saya tukar 1 lembar 5 ribu rupiah dengan sebotol air mineral Narmada berukuran 1500 ml. Nah, ransum saya sudah lengkap: Urap dan lontong, celilong dan air mineral. Dari seputaran kawasan Pasar Dasan Agung inilah saya memulai perjalanan ke Kuta Mandalika yang ada di Kabupaten Lombok Tengah. 

Masih pagi dan segar, saya memutuskan memulai perjalanan dengan berjalan kaki ke arah barat. Tujuan terakhir dari perjalanan kaki ini adalah Terminal Mandalika yang terletak di kawasan Bertais, Sandubaya yang masih dalam batas Kota Mataram. Sebuah kota terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja dengan melulu menggunakan angkutan kota. Setelah 5 menit berjalan kaki ke arah timur dari Islamic Center, saya tiba di Taman Sangkareang. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan taman yang luasnya hanya setengah lapangan bola ini. Tapi, di kala malam, Taman Sangkareang menjadi salah satu ruang publik yang paling ramai dikunjungi setelah Taman Loang Baloq.

Taman Sangkareang, tepat terletak di pintu masuk Jl. Pejanggik.
Taman Sangkareang, tepat terletak di pintu masuk Jl. Pejanggik.
Duduk di kursi taman menghadap jalan Pejanggik di sisi utara, kesibukan kota Mataram sudah mulai terasa, ditandai oleh hilir mudik kendaraan yang kerap bertatap muka dengan sekelompok pria dari dinas Polisi Militer yang berlari mengelilingi taman. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun