Berbicara soal wisata di Pulau Lombok seakan tiada habisnya. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kepuasan yang bakal Anda peroleh. Juga tiada waktu yang benar-benar mencukupi agar bisa mengunjungi destinasi wisata yang ada maupun yang ditawarkan. Darat, laut, maupun ketinggian udara Pulau Lombok menawarkan keindahan yang nyaris sulit ditemukan di daerah lain di Indonesia. Harga adalah soal lain; sepenuhnya subyektif, karena itu menyangkut kepiawaian dan jam terbang Anda dalam berkelana.Â
Dapat dikatakan Pulau Lombok relatif siap untuk menjadi tempat wisata skala internasional. Berbeda dengan Pulau Bali, misalnya, yang minim sarana transportasi umum, berkeliling Pulau Lombok merupakan hal yang sangat mungkin; terutama jika hal tersebut dilakukan di kala siang bolong. Banyak angkutan umum yang siap mengantar Anda berkeliling atau menuju destinasi idaman. Lupakan taksi atau mobil sewaan; karena Anda baru dapat mengetahui persis karakter penduduk asli suatu daerah dari kendaraan atau angkutan umum tingkat akar rumput. Di luar itu semua, hanya ilusi keramahan yang bakal Anda peroleh. Dan untuk keramahan penduduk Pulau Lombok, saya beri acungan jempol!
Perjalanan saya kala itu bermula dari pusat kota, yakni tepatnya di sekitar Islamic Center yang berada di Jl. Langko. Tujuan saya waktu itu hanya satu: Kawasan Senggigi. Setelah berjalan ke arah Selatan dari gedung termegah di kota Mataram tersebut, saya mendapatkan angkutan umum berwarna kuning dengan tujuan terakhir Ampenan. Dengan tarif Rp 5.000,- saya pun tiba di Pantai Ampenan. Ada kisah menarik di sini. Saya seharusnya turun di lampu merah yang jaraknya 500 m dari pantai.Â
Namun, pak sopir menawarkan diri untuk mengantar sampai pantai tersebut. Mulanya saya berpikir yang bersangkutan mengharap uang tambahan. Ternyata tidak. Sudah menjadi kebiasaan bagi angkutan umum di Lombok, khususnya kota Mataram, untuk mengantar hingga tujuan terakhir. Mereka yang sama-sama diangkut pun tak keberatan dengan kebijakan tersebut. Jadi, jangan heran jika suatu saat Anda melihat angkutan umum bermuatan orang hilir mudik di gang-gang tanpa tidak diprotes orang ataupun polisi.
Setelah melihat sebentar Pantai Ampenan dan kompleks kota tua di sekitarnya, perjalanan saya lanjutkan dengan angkutan umum jenis lain. Modelnya mirip mikrolet Jakarta yang sudah punah itu; tapi ukurannya relatif lebih besar. Setelah kurang lebih 20 menit di atas angkot dengan suguhan pemandangan yang membuat saya berdecak kagum, saya pun turun di Bukit Malimbu.Â
Dari ketinggian bukit tersebut Anda dipastikan bakal merasa telah menjadi manusia kembali setelah lebih dari 250 hari berada di balik kungkungan dinding kantor. Begitu indah. Itupun dapat dengan mudah Anda nikmati dengan membayar Rp 5.000,- dari kawasan kota tua Ampenan, lho.
Sasaran saya tetap Pantai Sengigi. Untuk mencapai lokasi tersebut, saya cukup berjalan kaki. Jalan menurun, ditambah lagi dengan suara debur ombak dan keindahan pantai di kawasan Lombok Barat, menciptakan nuansa nikmat tersendiri bagi saya. Trotoarnya benar-benar sudah disiapkan untuk pejalan kaki. Saya tidak sendirian, mengingat berjalan kaki sudah menjadi kebiasaan para wisatawan asing. Tiba di Pasar Seni, saya pun masuk ke kawasan Pantai Senggigi. Sungguh bersih.Â
Pasir berwarna putih dan air laut mirip tropical float KFC sungguh menawan hati. Kondisi ini sangat berbeda dengan pantai di pulau terkenal di sebelah Timur Pulau Jawa yang relatif kotor dan kerap dikunjungi binatang berkaki empat yang suka menggonggong itu: Binatang tersebut takkan Anda temui di pantai ini. Tak ayal lagi, saya pun tergoda untuk menikmati keindahan bawah lautnya.
Berjam-jam menikmati Pantai Senggigi, suasana mendekati petang. Saya pun memutuskan menikmati sunset. Rumor mengatakan pemandangan sunset terindah di sana hanya diberikan oleh Pantai Batu Bolong. Cukup berjalan kaki kurang lebih selama 30 menit, saya pun tiba di lokasi tersebut. Lokasinya tidak sulit ditemukan, kok. Pertama, karena saya melewatinya dalam perjalanan dari Ampenan. Kedua, keberadaan sebuah pura di balik bukit membuatnya gampang dikenali. Belum lagi ada panggung tempat orang berjualan di pinggir jalan.Â
Apa yang perlu saya lakukan hanyalah turun dari panggung tersebut dan duduk di tepi pantai sembari menikmati berburu sunset. Dan, benar, lokasi ini menawarkan pemandangan sunset terindah. Totally clear! Tidak ada satupun awan yang menghalangi sunset hari itu. Bagi saya pribadi, jauh lebih indah ketimbang yang ditawarkan Canggu di Pulau Bali sono.Â
Usai menikmati sunset, saya pun naik ke panggung; menunggu penjual jagung bakar dan sate bulayak siap. Harganya ramah banget untuk wisatawan. Anda bisa menikmati keduanya dengan harga kurang dari Rp 20.000,-. Tidak ada langkah subversif untuk membuat harga lebih mahal; suatu hal yang kerap ditemui di tempat wisata. Kerakusan tak mendapat tempat di kawasan Senggigi rupanya.Â