Hari-hari ini umat Islam (khususnya di Indonesia) merayakan hari kelahiran Rasulullah Muhammmad Shollallaahu 'Alaihi Wa Sallam (SAW), yaitu pada tanggal 12 Robiul Awwal tahun Hijriyah. Hari kelahiran Rasullullah SAW persis sama dengan hari kematiannya: Hari Senin, 12 Robiul Awwal.
Kisah berikut adalah cerita sejarah yang saya adaptasi ulang dari berbagai sumber.
+++
Jibril suatu saat menghadap Tuhan untuk sebuah titah penting berupa pesan untuk Izrail---malaikat pencabut nyawa: "Sampaikan pada Izrail untuk mengurungkan tugasnya bila kekasih-Ku tak berkenan hari ini." Firman Tuhan pada malaikat pembawa wahyu itu.
Cinta dan penghormatan Allah SWT pada Rasulullah Muhammad SAW begitu besar. Dan, karena Dia tahu betapa berharganya kekasih-Nya itu bagi umatnya maka kematiannya---yang semestinya dijadwalkan hari itu---diminta-Nya untuk ditunda bila manusia paling mulia itu belum sanggup berpisah dengan keluarga, sahabat, kerabat serta umatnya saat itu juga.
Sementara itu di bumi, seseorang mengucapkan salam dari luar rumah Rasulullah SAW yang sedang berbaring lemah karena sakit di tempat tidurnya. Ia minta ijin masuk, namun Fatimah---puteri semata wayang Rasulullah SAW---tak memberinya ijin karena ayahnya seperti tak sanggup menerima tamu karena diserang demam yang berat.
"Siapa gerangan itu di luar, wahai putriku?" Tanya Rasulullah. "Entahlah, Ayah. Aku juga baru melihat orang itu." Jawab Fatimah. Sejenak Rasulullah terdiam. Ditatapnya setiap detil wajah putrinya itu dengan tatapan penuh kasih sayang yang menggetarkan jiwa. Orang suci ini seperti hendak mengenang wajah putrinya itu.
"Wahai putriku," lanjut Rasulullah, "Ketahuilah bahwa orang yang di luar itu adalah si penghapus kenikmatan fana. Pertemuan dengan dunia dipisahkan olehnya. Dia lah sang Malaikat Maut." Mendengar itu, seketika kesedihan Fatimah bergemuruh di dadanya. Ia tak sanggup membendung deras air matanya karena kedatangan orang asing di luar sana adalah pertanda akhir pertemuannya dengan sang ayah yang amat dicintainya.
Lalu, Izrail menghampiri. Namun, sesuai titah Ilahi, ia belum hendak melaksanakan tugasnya sebelum ada ijin Rasulullah SAW. "Ke mana gerangan Jibril?" Rasulullah malah bertanya, "Kenapa ia tidak ikut serta denganmu?" Tanya Rasulullah lebih lanjut pada Izrail.
Jibril yang sejak tadi berdiam di antara langit dan bumi---hendak menyambut ruh Rasulullah SAW---segera turun dan menyapa manusia suci itu.
"Apa hak-ku di hadapan Allah SWT saat ruh-ku dipanggil-Nya nanti, wahai Jibril?" Tanya Rasulullah dengan suara yang lemah. "Gerbang semua langit terbuka untukmu" Jibril mulai menjawab, "Para malaikat siap menyambut ruh-Mu dan pintu-pintu surga menanti kedatanganmu." lanjutnya. Akan tetapi, jawaban Jibril itu sama sekali tidak membuat wajah Rasulullah sumringah. Raut mukanya tampak semakin lesu. Sorot matanya masih dirundung kecemasan. Ia tidak gembira dengan berita yang dibawa Jibril.
"Tidak gembirakah Engkau dengan berita baik ini, Ya Rasulullah?!" Tanya Jibril.
"Kabarkan padaku, bagaimana nasib umatku sepeninggalku kelak, wahai Jibril?!" Rasulullah malah kembali bertanya.
Jibril menjawab lagi, "Jangan khawatir, Ya Rasulullah. Allah SWT telah menjamin bahwa pintu-pintu surga tidak akan pernah terbuka untuk siapa pun sebelum seluruh umatmu telah berada di dalamnya."
Jawaban itu melegakan Rasulullah SAW. Ia tampak sudah siap menghadap Ilahi. Fatimah---ditemani Ali RA, suaminya---yang sejak tadi berada di samping Rasulullah SAW hanya bisa menunduk dan tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam.
Detik-detik akhir semakin mendekat. Izrail pun bersiap menunaikan tugas beratnya; bersentuhan langsung dengan ruh manusia suci, kekasih Allah SWT. Dengan penuh penghormatan, perlahan Izrail menarik ruh Rasulullah SAW. Tubuh manusia mulia dan penghulu dunia itu bersimbah peluh. Urat-urat lehernya terlihat menegang.
"Jibril," Di tengah sakaratul maut Rasulullah SAW sempat memanggil nama malaikat yang selalu mendampinginya itu, "Betapa pedih dan sakitnya proses kematian ini" lanjutnya mengeluh. Ia sedikit mengaduh. Fatimah dan suaminya menunduk semakin dalam, terhempas jiwa mereka karena kesedihan yang teramat mencekam.
Jibril tak menjawab. Ia hanya memalingkan muka. "Jijik-kah Engkau melihat keadaanku ini, wahai Jibril?" Tanya Rasulullah lagi. "Mengapa Engkau memalingkan mukamu? Dan ia bertanya lagi.
"Siapakah yang sanggup melihat dirimu dalam keadaan seperti ini, Ya Rasulullah?! Kekasih Allah SWT sedang direnggut ajal. Sungguh aku tak sanggup!!!."
Rasulullah SAW semakin mengaduh, serasa tak sanggup lagi dengan rasa sakit itu. Dalam proses sakaratul maut, Ia hanya bisa mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan: "Ya, Allah...betapa dahsyat rasa sakit dan pedihnya kematian ini. Timpakan saja semua siksa sakit maut ini padaku. Jangan biarkan umatku merasakan siksa kepedihan maut ini, Ya Allah."
SOLIHIN AGYLÂ
+++
Lalu, dengan apa kita bisa membalas cinta Rasulullah SAW???
Allahumma Sholli 'Alaa Muhammad.
Silahkan meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Mencontoh dan meniru sikap, perilaku dan amal ibadah beliau semasa hidupnya jauh lebih baik, begitu nasihat orang bijak.
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H