Mohon tunggu...
Solihin Agyl
Solihin Agyl Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan Peneliti Bahasa

Seorang Wordsmith, Reader, Interpreter, Teacher/Trainer, Explorer, dan Researcher di L-Pro Jember, Pembicara Seminar, dan Workshop Nasional-Internasional. Sering diminta melatih Academic Writing, Public Speaking, English Camp, TOEFL/IELTS Instructor, Teaching-Learning, dan PTK. HP. 081-336-4045-18 email : solihinagylemailpenting@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sarjana

16 Desember 2023   17:03 Diperbarui: 16 Desember 2023   17:09 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Agar menjadi menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik, pemahat, dan penulis hebat." 

[Paulo Coelho]

Apakah Anda menilai Paulo Coelho sedang merendahkan para sarjana dengan kalimat sindiran itu? Saya rasa tidak. Tapi, kita semestinya memang harus bertanya: "Mengapa menjadi sarjana terkesan sangat istimewa? Padahal kenyataan yang umum terjadi, para sarjana itu pada akhirnya (sering) memilih menjadi karyawan saja selepas kuliah?" Mereka seperti tak punya pilihan lain kecuali bekerja dan mengabdi pada orang lain, dan tak ada inisiatif untuk menciptakan pekerjaan dan memberdayakan banyak orang.

Padahal pesan paling penting dari kalimat kutipan itu adalah bahwa hanya karena mengejar gelar sarjana, lulusan lembaga pendidikan tinggi itu sering tak fokus pada potensi alami mereka yang sudah dititipkan oleh Tuhan di dalam diri mereka sehingga kelebihan alami itu jadi terlupakan untuk dikenali, didalami lebih jauh, diasah agar semakin tajam dan kuat, serta dikembangkan selama perjalanan pendidikan di bangku sekolah/kuliah.

Dengan kata lain, misi yang terpenting dari pendidikan---mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga yang dipilih---adalah: para pelajar itu, para kaum terdidik itu justru harus menemukan potensi dan kehebatan alami mereka dan terus memperdalaminya di sepanjang jalan mereka menempuh pendidikan dan terjun di masyarakat. Misi kesarjanaan, rupanya, telah menjauhkan bahkan menghilangkan mereka dari ke-DIRI-an mereka. 

Itulah kesalahan sistem pendidikan pada umumnya. Para sarjana lulusan kuliah itu diciptakan untuk menjadi pekerja, bukan untuk menjadi penyedia lapangan pekerjaan, bukan untuk menjadi pemikir atau problem solver yang handal. Hal ini justru diakui oleh pencetus ide pendidikan sekolah/universitas John D. Rockefeller yang juga seorang pengusaha handal melalui pernyataannya: "I don't want a nation of thinkers. I want a nation of worker." Saya tak menginginkan bangsa pemikir tapi saya menginginkan bangsa pekerja. 

Sebenarnya, apa salahnya menjadi pekerja (karyawan)? Tentu saja tidak salah. Mengabdikan diri sebagai pegawai, yang setiap bulan mengandalkan penghasilannya dari gaji, bukanlah sebuah kesalahan. Tapi, terutama dalam konteks Indonesia yang segera menghadapi bonus demografi (demographic dividend) di tahun 2045 nanti, menjadi karyawan sepertinya tak menyelesaikan masalah bangsa ini dalam hal pemerataan penyediaan lapangan kerja bagi jumlah penduduk di usia kerja atau usia produktif yang semakin membludak. 

Dari data Badan Pusat Statistik sampai dengan Agustus 2023, jumlah total tenaga kerja Indonesia sekitar 135 jutaan (lihat link di bawah) dibanding jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia hanya sekitar 17-an pekerjaan utama, mulai dari: Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial sampai dengan Jasa Kesehatan dan Jasa Pendidikan.

Dan, pertanyaan mendasar tentang perbandingan jumlah pekerjaan utama dan tenaga kerja yang tersedia terus ada: Sampai sejauh mana pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan utama konvensional di tengah maraknya serangan lapangan pekerjaan berbasis AI (Artificial Intelligence)? Banyak sekali tenaga kerja yang akan segera digantikan oleh produk tekhnologi mutakhir (AI).

Di titik inilah pesan dari Paolo Coelho itu menemukan substansinya. "Kuliah"---atau proses pendidikan selama di universitas---mestinya harus mempersiapkan para mahasiswanya (yang kelak menjadi sarjana) untuk menjadi pemikir yang bernas, penyelesai masalah (problem solver), dan mampu menciptakan pekerjaan sendiri, bahkan dapat menyediakan cukup lapangan pekerjaan terutama bagi mereka yang tak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai sarjana.

Pesan lain dari kalimat kutipan Paulo Coelho itu adalah: sekolah harus memastikan setiap siswa mengenal potensi alami masing-masing dan kemudian mereka perlu mendapatkan porsi latihan cara berpikir, manajemen yang baik, dan pendekatan penelitian yang komprehensif sehingga profesi-profesi itu selalu menemukan cara untuk melakukan yang lebih baik bagi karir yang dijalaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun