"Terima kasih," sahut kami berdua.
Sejenak saya menatap dalam mata Pak Eko. Sekitar satu menit. Lalu pandangan saya alihkan mulai dari kepala hingga kaki. Tak tampak papan nama dan lambang korpri bertengger di dadanya. Pak Eko belum berubah. Kondisinya masih fit, sebagaimana yang Aku bayangkan, batinku.
"Pak, saya berniat, para guru di sekolah saya bisa keluar dari kotak stagnan. Mereka harus mampu melalukan transformasi pendidikan. Harus berubah," Pak Eko memulai percakapan.
"Saya mengatakan, pilihan profesi guru adalah profesi sibuk. Dan Ibu Bapak sudah memilih profesi ini. Maka ketika memilih profesi guru, bersiaplah untuk kerja, kerja yang bukan stagnan, tetapi dinamis dan menyesuaikan dengan zaman."
Aku menyimak setiap kata yang diungkapkannya. Bagaikan profesor yang memberikan kuliah kepada mahasiswanya.
"Saya telah menugaskan kepada guru-guru, untuk membuat aksi nyata. Meskipun kami bukan sekolah penggerak, tetapi saya menginginkan guru-guru saya menjadi bagian dari Penggerak Pendidikan Indonesia." mimiknya serius. Tangannya mengepal, tanda bersemangat.
"Dalam waktu dekat ini, saya akan melaksanakan workshop di sekolah saya. Dan saya akan mengundang Calon Guru Penggerak sebagai narasumber pada kegiatan tersebut," matanya menatap tajam. Aku membalas tatapan, dan tersenyum.
Ada rasa bangga dalam diri ini. Perhatian Kepala SMPN 3 Satap Tilamuta ini sangat tinggi. Perubahan pendidikan menjadi fokus kerjanya. Sekolah yang berada jauh dari pusat kota. Terpinggir. Di ujung Timur Pantai Tilamuta. Lebih bangga lagi, Pak Eko akan memberdayakan Calon Guru Penggerak sebagai narasumbernya.
"Saya memohon tanggapan Bapak tentang rencana saya tersebut."
"Luar biasa, Pak Eko. Saya salut. Niat Anda patut diapresiasi. Saya mendukung kegiatan tersebut."
Tampak senyum dari bibirnya.