Kepada (alm) Ibu Tien Soeharto
Atma para jelata tegar bergetar, nadi kecil berdetak terhenti sedetik, suara serak tertahan, berganti tangisan yang tumpah berjamaah, menghantar  kepergianmu nan abadi, tak kan bertemu lagi, dengan kami.
Mengenang juangmu adalah irama, mengikuti jejakmu adalah niscaya, baktimu melekat erat dalam ingatan para rakyat berdaya.
Masih Ku ingat ketika Kau bersama anak telanjang dada, berjalan di pematang sawah bergunduk apik tertata, kau rangkul tulus sambil berucap suara, Bangunlah Indonesia, tak kenal lelah.
Senyum khasmu menghiasai negeri, tawamu simpulmu mampu sejajarkan bangsa ini, berjaya di masa tiga dasa.
Kini senyum itu masih berhias negeri, berbekas abadi sejak kau tinggalkan kami,
Dalam tidur beku jasadmu, kami hantarkan engkau, berjejer berbaris sepanjang jalan, pada sore menjelang matahari kembali ke pangkuan.
Selama perjalananmu menuju Halim, pedih pilu sepanjang berselang seling, Â melambai lunglai tangan-tangan buntung, sambil bergumam suara menggantung, "selamat jalan cahaya yang tak pernah padam"
Pada untaian aksara ini, ku tulis puisi, untuk mengenangmu sekarang dan nanti, berukir lagu beragam diksi, sambil aku bertaka, "kami masih rindu senyummu, Hai Kartini Negeri"
#Puisi ini ditulis pada hari kedua meninggalnya Ibu Tien Soeharto.