Mohon tunggu...
Sofyan Utiarahman
Sofyan Utiarahman Mohon Tunggu... Guru - Master Trainer MGPBE, Fasilitator, Narasumber Kependidikan, Motivator, Instruktur Nasional, Penulis Pemula

Sofyan Utiarahman. Pecinta aksara. Peselancar Media. Menulis dan belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merefleksi Hari Kartini dalam Konteks Pendidikan

21 April 2022   07:37 Diperbarui: 21 April 2022   10:47 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Raden Ajeng Kartini, lahir di Jepara hari Senin tanggal 21 April 1879. Berasal dari golongan priayi atau bangsawan Jawa, Kartini merupakan anak dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan isterinya MA. Ngasirah. Nama aslinya adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Beliau meninggal di Kapaten Rembang hari Sabtu tanggal 17 September 1904. 

Kartini adalah pahlawan nasional. Hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Nasional/Hari Kartini. Ketentuan tersebut terdapat dalam Keputusan Presiden RI Nomor 108 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964. Kepres tersebut dapat diunduh di sini.

Sebagai pejuang emansipasi wanita, perjuangan R.A. Kartini telah kita rasakan sekarang. Emansipasi wanita menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan keputusan: 1) Kebijakan jumlah menteri perempuan, 2) Kebijakan calon dewan dari perempuan, 3) kebijakan menempatkan perempuan dalam jabatan pemerintahan.

Dalam konteks kekinian pada sektor pendidikan dan pembelajaran, banyak hal yang patut diteladani dari sosok R.A. Kartini dan relevan dengan implementasi kurikulum merdeka.

  1. Gemar membaca. Kartini gemar membaca buku. Kegemaran membaca tersebut membentuk karakternya untuk memperjuangkan emansipasi wanita. Buku yang dibaca berjudul: De Stille Kraacht karya Louis Copertus, dan Die Wafen Nieder karya Berta von Suttner. Semangat gemar membaca tersebut patut kita teladani untuk menerapkan literasi membaca, di kalangan guru dan siswa. Asumsi bahwa daya baca kita rendah, harus benar-benar dientaskan dari dalam diri kita sendiri dan juga dari diri siswa. Kita menginginkan lingkungan kita memiliki daya baca yang tinggi.
  2. Semangat belajar (otodidak) tinggi. Kartini muda mempunyai kemampuan berbahasa Belanda. Belajar secara otodidak, karena saat usia sekolah Kartini muda sudah dipingit oleh keluarganya. Melalui kemampuan berbahasa Belanda yang baik, Kartini mulai menulis surat dengan sahabat-sahabatnya di Belanda. Belajar otodidak, mempelajari sendiri. Hal ini sesuai dengan semangat kemandirian yang dibangun  dalam mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Kita memantik para siswa untuk bisa mandiri melalui berbagai kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
  3. Gemar menulis. Kartini gemar menulis. Ia menulis surat kepada sahabat penannya di Belanda. Kumpulan surat-surat kartini tersebut dibukukan berjudul: "Habis Gelap Terbitlah Terang." Semangat menulis Kartini patut kita teladani dan kita tebarbenih kepada para siswa kita. Hanya ada satu cara agar kita memiliki semangat menulis. Apakah itu? Ya caranya adalah menulis. Tulis apa saja yang ingin kita tulis. Berlatih dan terus berlatih, hingga menjadi penulis yang benar-benar menulis.
  4. Mendirikan sekolah khusus putri di Jepara.  Mendirikan sekolah merupakan potret kemajuan dan nalar, betapa pentingnya pendidika dalam kehidupan. Kartini tidak ingin melihat kaum perempuan berada dalam lingkaran kebodohan. Kecil peuang bagi kita untuk mendirikan sekolah. Sekalipun ada, ya Alhamdulillah. Hal itu adalah anugrah. Hikmah yang perlu kita petik dari poin ke-4 ini adalah, menyadari betapa pentingnya akses pembelajaran untuk warga Indonesia. Membimbing dan melatih tidak hanya dilakukan di dalam sekolah. Di luar sekolah sekalipun, jiwa raga dan darah merah kita sebagai guru kita terapkan. Ajarkan kebaikan kepada anak-anak di lingkungan tempat tinggal kita.
  5. Membelajarkan keterampilan dan kemandirian.  Para siswa putri di sekolah tersebut, Diajarkan keterampilan untuk bekal kemandirian dalam hidup: cara menjahit, menyulam, dan memasak. Saya menilai point ke-5 ini berhubungan dengan keterampilan. Identik dengan konsep olahkarsa yang ditawarkan oleh Kihajar Dewantara. Pentingnya olah karsa atau penguasaan keterampilan bagi peserta didik akan memberikan pengalaman berharga bagi mereka kelak memasuki kehidupan yang sebenarnya, di dunia. Kelak ia dewasa menjadi pribadi yang terampil mengatur hidup.

Pembaca yang budiman!

Mari kita menebar kebaikan mendidik dan melatih generasi negeri ini, di manapun kita berada. Dan yakinilah! sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan pasti akan menuai ganjaran dari Sang Khalik.

#Opan S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun