Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, masih saja relevan hingga saat ini. Lingkaran kekuasaan memang sangat potensial memunculkan berbagai praktik korupsi. Kalimat ajaib ini keluar dari orang Jerman yang bernama Lord Acton, ia lahir 1834 lampau.
Rasanya sulit untuk menolak adagiumnya, karena memang begitulah kenyataan pahit yang terus saja terjadi akhir-akhir ini. Korupsi lagi dan lagi, terus berulang dan nggak ada kapok-kapoknya.
Penangkapan Mas Romy, Ir. H. Muhammad Romahurmuzy, MT., seorang komandan muda dari sebuah partai yang kemarin tertangkap tangan oleh KPK tentu saja mengejutkan banyak pihak, lha wong di seantero jagad maya lagi gegap gempita adu urat jari antara cebong dan kampret, eh lha kok ujug-ujug ada berita menggelegar gini. Ya terkejut tho ya, ya tho... iya in aja deh biar sayanya semangat lanjut nulisnya ini.
Sebagai seorang politisi muda yang cemerlang, di usia yang baru menginjak 44 tahun ia sudah sanggup berdiri di puncak memimpin sebuah partai lama. Ia bahkan digadang-gadang sebagai lokomotif munculnya generasi muda masa depan politik.
Tulisan ini tentu tidak berkapasitas untuk menghakimi perilaku Romi, atau yang lain dan yang lainnya lagi. Ini hanya sebuah catatan kecil bagi kita semua untuk bisa instrospeksi diri.
Perilaku koruptif itu terjadi bukan hanya bermotifkan ekonomi saja, banyak motifnya, motif batik, motif bunga-bunga, maupun motif garis-garis, motif keserakahan, motif kesempatan, motif sikap mental konsumtif, dan motif hukuman yang masih rendah dan bisa dinego lagi.
Hampir semua koruptor itu, kalau tidak mengatakan semua, merupakan orang berduit lho. Banyak yang hartanya melimpah, tanah di mana-mana, deposito yang nggak habis 7 turunan, istri simpanan juga available. Tidak seperti kamu, nyari satu jodoh saja sulitnya kayak nyari jarum di tumpukan jerami tetangga.
Apakah para koruptor itu nggak tahu kalau perilaku korupsi itu salah? Faktanya kebanyakan bahkan hampir semua koruptor itu orang pintar semua, yang tahan makan bangku sekolahan bertahun-tahun. Orang top secara akademis, titelnya puanjaaaaaang. Kurang apa lagi coba.
Kalau mengejar status sosial, kurang apalagi mereka ini. Secara kasta sosial mereka telah ada di puncak, rata-rata sudah punya gelar 'kebangsawanan' di pergaulan masyarakat mereka.
Kalau kata penceramah, apa sih yang dicari di dunia ini ? makan untuk hidup atau hidup untuk makan. Wong makan juga cuma sesendok-sendok, beda rasa makanan itu letaknya di lidah saja tho, kalau sudah berada di perut ya sama saja rasanya, apalagi kalau sabar ditengok keesokan harinya pasti warna dan baunya juga akan sama saja. Tetapi mereka masih tetap mencari makanan yang instagramable.
Manusia tidur ya cuma butuh tempat sepetak, sepanjang tubuhnya saja. Bahkan seorang Sultan Kosen, si manusia tertinggi di dunia, paling cuma butuh spring bed sepanjang 2,5 meter lebih sedikit untuk tempat nafas. Walau mereka itu rata-rata memiliki rumah bertingkat dan dimana-mana ada.