Mohon tunggu...
sofyan aziz
sofyan aziz Mohon Tunggu... Pendidik -

Esais dan pendidik tinggal di Rembang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menuju Pendidikan yang Berkebudayaan

5 Maret 2019   11:51 Diperbarui: 5 Maret 2019   12:14 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kisah Nur Kalim sosok guru honorer dari Gresik yang mampir viral menyentil satu sisi kemanusiaan saya, kasus kekerasan yang nyaris serupa dan terus saja berulang. Konflik kekerasan yang kerap terjadi di lembaga pendidikan, sebuah tempat terhormat yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga moralitas bangsa.

Benturan ego antara guru dengan siswa maupun antar sesama mereka. Konflik yang bertukar peran, kadangkala guru sebagai pelaku di lain kesempatan ia dapat menjadi korban juga. Sehingga sebenarnya tak ada posisi yang superior, baik guru maupun siswa sama-sama rentan menjadi pelaku dan korban perundungan sekaligus.

Entah apa yang salah dengan dunia pendidikan kita, metodenya, kebijakannya, kurikulumnya, sarananya, atau memang manusia-manusia Indonesia itu sulit diatur.

Pada hakekatnya pendidikan itu sebagai proses memanusiakan manusia, manusia yang oleh Yuval Noah Harari digambarkan sebagai wujud hewani secara biologis yang unggul dan berevolusi sedemikian rupa sehingga mencapai kesempurnaan seperti terlihat sekarang ini hingga mampu menguasai peradaban mengalahkan spesies yang lain.

Tujuan pendidikan ialah menyiapkan generasi penerus untuk tangguh dan dapat menjadi manusia seutuh-utuhnya, lengkap secara fisik, psikis, perasaan maupun akal budi yang luhur dan tidak tercerai beraikan dari khittah dasarnya sebagai makhluk paripurna.

Perkembangan zaman menuntut lembaga pendidikan, baik secara formal maupun informal, mampu menjawab segala tantangan zaman yang bertumbuh sedemikian pesat. Era teknologi 4.0 telah membuka segala sekat yang melekat pada setiap individu menjadi terang benderang  membuat para manusia modern laksana berdiam dalam rumah kaca.

Guru sekarang ini bukan lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan bagi para siswa, tersedia jutaan informasi di luar sana yang dapat dicari oleh para siswa dengan sekali kedipan mata.

Kembali ke permasalahn di atas, fenomena dunia pendidikan yang telah tercoreng oleh perbuatan beberapa oknum yang berdiam dalam lembaga yang dinamai sekolah, baik oleh guru maupun siswa seakan mengabsahkan data bahwa dunia pendidikan telah gagal dalam mengelola dan membekali manusia-manusia untuk menjadi manusia sejati.

Memang kita tidak bisa menggeneralisasi kasus per kasus, namun fakta tersebut menunjukkan sebuah proses delegitimasi dunia pendidikan. Dunia pendidikan bukan lagi sebagai tempat pembekalan moral, hanya sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan saja, tak lebih.

Arah Pendidikan di Indonesia

Ketika bangsa barat telah merumuskan kurikulum sedemikian rupa sehingga dapat menjawab tantangan zaman hingga saat ini mampu menjadi penguasa global dalam segala bidang kehidupan, sedangkan kita bangsa Indonesia masih berkutat dalam kurikulum pendidikan yang teknis dan remeh temeh, orientasinya hanya melulu pada ujian dan lulus, tanpa penyentuh persoalan dasar kemanusiaan.

Alih-alih menjawab tantangan moral yang absurd, 'hanya' untuk menjawab tuntutan dunia usaha yang lebih kasat mata saja, pendidikan kita belum mampu memenuhinya.

Kita masih saja berkutat pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan Sumber Daya Manusia yang belum menohok ke sasaran utama sebuah pendidikan, atau barangkali memang masih membutuhkan waktu untuk melihat hasilnya.

Persoalan lain muncul karena kita masih mengandalkan guru spesialis yang hanya sanggup mengajar menurut mata pelajarannya, menyampaikan materi, ujian, dan lulus. Siswa diharapkan hapal bacaan shalat, misalnya, tetapi apakah guru dengan seperangkat evaluasi yang dimiliki mampu menjamin siswa itu akan mempraktekkan ajaran shalat secara berkelanjutan dalam rentang kehidupan selanjutnya.

Pendidikan bukan lagi hanya menyampaikan ketuntasan materi yang dituntut dalam kurikulum namun harus juga memperhatikan ranah aplikatif seterusnya. Memberikan makna kesadaran hakiki kepada setiap siswa tentang nilai sebuah mata pelajaran.

Seharusnya pendidikan kita maknai sebagai investasi jangka panjang. Kemana dan bagaimana generasi kita 10 atau 20 tahun ke depan, generasi saat inilah yang mempunyai tanggung jawab besar untuk mempersiapkannya.

Berbicara survei tentang mutu pendidikan di Indonesia memang masih belum layak untuk dibanggakan karena tetap setia bertengger di papan bawah, namun sebagai seorang pendidik yang menemukan masa depan Indonesia lewat tatapan bening bola mata anak-anak, sudah sepatutnya rasa optimisme dalam dunia pendidikan kita bangun melalui karya nyata.

Data mengenai tindak kekerasan yang nampaknya masih dijadikan sebagai salah satu solusi utama untuk mengatasi suatu masalah di sekolah, yang kadang kita berapologi bahwa kekerasan itu perlu diambil sebagai upaya pendisiplinan.

Data yang dirilis KPAI pada tahun 2018 mencatat bahwa telah terjadi 161 kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan survei dari ICRW pada tahun 2015 menyebutkan 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, lebih tinggi dari kawasan asia lain yang hanya 70%.

Data-data di atas bisa kita perlakukan sebagai penyemangat untuk merubah nasib per'angka'an agar tidak selalu mengenaskan. Ayo kita mulai sekarang. Bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, bangsa yang kaya akan kebudayaan.

Ingatlah bahwa budaya jangan hanya dipahami sebagai ritus, pemujaan, kesenian, dan seterusnya, tetapi harus dipahami sebagai sikap hidup dan tingkah laku masing-masing individu.

Pendidikan di Indonesia seharusnya mampu membuat gebrakan khusus yang beda dan unik dari sebagian besar orientasi pendidikan dari negeri barat. Pendidikan kita harus mampu memberi siswa suatu nilai tambah, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai keluhuran, etika, dan moralitas.

Menurut Theodore Brameld disebutkan bahwa ternyata ada keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan perihal pengembangan nilai.`Antara Pendidikan dan Kebudayaan, menurut Edward B Taylor terjadi hubungan sebab akibat bahwa tak ada pendidikan tanpa kebudayaan begitupun sebaliknya. Ini seperti ayam dan telur lebih duluan mana.

Maka ayolah kita bergerak ke depan, menatap dengan optimis masa depan dengan membekali generasi penerus bangsa dengan bekal yang berarti, ini tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan generasi bangsa yang tangguh dan santun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun