PONOROGO -Â Bodo Kupat atau disebut Hari Raya Ketupat adalah tradisi masyarakat Jawa selain hari raya Idul Fitri. Tradisi Bodo Kupat atau Kupatan menurut sejarah pertama kali dikenalkan oleh salah satu Walisongo yakni Kanjeng Sunan Kalijaga (Raden Mas Said).
Kata "Kupat" memiliki filosofi yaitu "Ngaku Lepat" yang artinya mengakui kesalahan yang telah dilakukan atau permintaan maaf.
Ketupat merupakan anyaman dari daun kelapa yang masih muda atau disebut dengan Janur yang artinya (Jathining Nur/bahasa Jawa).
Di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur terdapat empat (4) jenis Kupat, antara lain: Kupat Sinto, Kupat Luwar, Kupat Bawang, Kupat Kodok.
Kupat - kupat yang sudah jadi disebut Selontongan. Selontongan kemudian di isi beras dan irisan kelapa. Setelah itu, dimasak selama semalam sebelum dibawa ke mushola ataupun masjid.
Ketupat yang sudah matang dipotong sehingga terlihat putih yang melambangkan kesucian atau kembali ke fitrah.
Hari Raya Ketupat merupakan wujud rasa syukur saat melaksanakan Puasa Ramadhan dan Puasa Syawal selama 6 (enam) hari diawali dari hari kedua (2) sampai hari ketujuh (7) bulan Syawal.
Di kampung Mangunan, Desa Tulung, Kecamatan Sampung, Ponorogo tradisi Hari Raya Ketupat dilaksanakan hari kedelapan (8) bulan Syawal.
Ketupat yang sudah disiapkan dari rumah kemudian dibawa ke mushola atau masjid untuk di doakan tokoh agama (kyai) sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT.
Setelah di doakan antar satu jamaah dengan yang lainnya bertukar Kupat untuk di makan bersama. Hal ini sebagai wujud silaturahmi antar jamaah.
Sebagai informasi, masyarakat Ponorogo biasanya membuat Ketupat atau pada hari ke 7 Syawal. Namun, satu hari sebelum Bodo Kupat sudah banyak ditemui para penjual yang menjual Janur maupun Selontongan di pasar tradisional.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H