Hari Raya Ketupat (riaya/bakda/bodo kupat) atau bisa disebut juga dengan Kupatan merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa selain Hari Raya Idul Fitri. Disebut Bodo Kupat atau Hari Raya Ketupat karena masyarakat dalam merayakannya dengan membuat kupat. Tradisi Bodo Kupat atau Kupatan menurut sejarah pertama kali diperkenalkan oleh Walisongo yaitu Raden Mas Syahid atau lebih dikenal dengan Kanjeng Sunan Kalijaga di Wilayah Jawa.
Masyarakat Jawa "Kupat" memiliki filosofi yaitu "ngaku lepat" atau "ngakoni kalepatan" yang artinya mengakui secara sadar bahwa banyak kesalahan yang telah dilakukan atau disebut juga dengan permintaan maaf. Ketupat sendiri terbuat dari "Janur" (daun kelapa yang masih muda) berarti "Jathining Nur" (Bahasa Jawa) telah datang nur (cahaya). Ketupat berisi beras yang di campur dengan irisan kelapa, ketika sudah masak dan di potong terlihat putih yang memiliki arti kembali ke fitrah atau kesucian.
Perayaan Hari Raya Ketupat merupakan sebuah wujud rasa syukur karena sudah melakukan Puasa Ramadhan satu bulan penuh dan Puasa Syawal selama 6 hari, di awali dari hari ke 2 sampai hari ke 7 di Bulan Syawal.
Menurut penuturan Bapak Katimun warga Mangunan ada berbagai jenis Ketupat yang terus dibuat secara turun temurun.
"Gae kupat ngeneki wes kat ndisek jaman e mbeh e ndisek teko sak Iki tetep dilestarekne (membuat kupat seperti ini sudah sejak jaman dahulu, jamannya mbah dahulu sampai sekarang tetap dilestarikan)." tuturnya.
Masyarakat membuat berbagai jenis ketupat yang dilakukan pada hari ke 7 Syawal atau satu hari sebelum Bodo Kupat. Namun sudah banyak ditemui para penjual yang menjajakan selontongan maupun janur baik di pasar tradisional ataupun dipingir jalan raya.
Dalam perayaannya terdapat jenis Ketupat, di Ponorogo sendiri memiliki berbagai jenis Ketupat diantaranya : Kupat Sinto, Kupat Luwar, Kupat Balon/Bawang, Kupat Kodok.
Kupat Sinto, yaitu Ketupat duduk berbentuk persegi, wuku merupakan penanggalan Jawa berarti 7 hari (seminggu) telah melaksanakan Puasa Syawal dan Bodo Kupat .
Kupat Luwar, yaitu berbentuk jajargenjang memiliki arti sudah luwar atau selesai dalam menjalani Puasa Syawal dan berharap mendapat fitrah (kesucian).
Kupat Balon/Bawang, yaitu kupat yang memiliki bentuk seperti balon. Maknanya segala dosa semoga telah terangkat dan menuju kesucian hidup.
Kupat Kodok, yaitu ketupat yang memiliki bentuk seperti kodok.
Dari ke empat jenis Ketupat diatas memiliki cara membuat yang berbeda. Ada alur atau pola tersendiri untuk menganyamnya, butuh kesabaran dan ketelitian dalam membuatnya jika salah satu putaran saja dalam membuat maka akan berubah bentuk, bahkan bisa mengulanginya lagi dari awal. Ketupat yang sudah jadi di sebut selontongan (contongan).
Setelah selontongan jadi kemudian dimasak semalam sebelum di hidangkan pagi harinya.
"Sakdurunge budhal menyang langgar masjid wong nggantungne Kupat neng lawang omah, artine arwah cilik gedhi seng wes ninggal ben iso ngrayakne ugi melu mangan (Sebelum berangkat ke masjid atau mushola, pagi harinya warga menggantungkan ketupat di pintu rumah yang memiliki arti bahwa arwah yang telah meninggal dan anak kecil ikut merayakan dengan memakannya.)" Jelasnya. Wallahu a'lam bishawab.
Di Mangunan Tulung Sampung Ponorogo tradisi Hari Raya Ketupat bisa kita temukan di hari ke 8 Bulan Syawal, tetapi di daerah lain Ketupat bisa ditemukan  pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Pada waktu pagi hari, lebih tepatnya pada hari ke 8 Bulan Syawal masyarakat membawa Ketupat yang sudah dimasak untuk dibawa ke mushola atau masjid untuk didoakan oleh kyai atau ustadz untuk memohon keselamatan dan wujud rasa syukur kepada Allah SWT. Setelah didoakan antara warga satu dengan yang lainnya bertukar kupat untuk di makan. Hal ini merupakan salah satu wujud silaturahmi dan rasa kebersamaan antar warga. Tradisi Bodo Kupat secara turun temurun tetap terjaga dan di lestarikan di tengah modernitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H