Mohon tunggu...
Pendidikan

Naik Kereta

22 Maret 2019   18:24 Diperbarui: 22 Maret 2019   18:34 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku enjoy aja saat panitia menunjukkan tiket kereta, bukan tiket pesawat. Sebab naik kereta pun menyenangkan, santai, dan pemandangannya seru.

Gimana gak nyantai coba, 9 jam duduk manis menunggu masinis membawa kereta hingga Jogyakarta.

Tapi beneran aku senang, sebab banyak pemandangan indah yang bisa dilihat. Terutama, ada waktu membaca buku lebih tenang.

Gak terasa, satu buku tamat. Gak semua dibaca sih, bagian teori aku lompat, fokus baca teknik yang dipaparkan.

Tapi itu rekor lho, biasanya gak pernah tamat. Punya ratusan buku, gak ada yang selesai kecuali bukunya Napoleon Hill (lupa judulnya apa).

Sekonyong-konyong aku gelisah saat membaca pesan wa, seorang ibu menunjukkan tanda tangan putrinya. Aku udah menduga anak ini mendapatkan tekanan, lalu si ibu menguatkan dengan cerita, "anakku gak mau pulang. Milih ikut ke tempat aku praktek."

Tuh kan bener.

Pertanyaanya, tekanan apa? Sehebat apa tekanan itu sampai anak gadis ini tak mau pulang?

Aku bisa ngerasain sih dari bentuk tanda tangannya, ada rasa ketakutan luar biasa. Tapi "luar biasa" itu gak bisa dipahami oleh orang lain, cuma aku yang paham. Atau mungkin peserta kelas online analisa tanda tangan.

Sayangnya si ibu ini gak belajar analisa tanda tangan, jadi dia gak paham kecuali apa yang ditunjukkan anaknya. Padahal, anak gak akan jujur dengan  apa yang dia rasakan. Malu pastinya. Aku pun gak enak buat jujur sebab khawatir menganggu pikiran si ibu.

"Bawa aja ke rumah aku ya Bu buat di terapi."

Balasku lewat pesan wa. Sebenarnya pengen cerita banyak tentang temuan lain dari tanda tangan anaknya, tapi buat apa juga kalau ternyata mereka gak datang.

Buatku, menceritakan masalah yang dialami seseorang belum tentu baik selama gak ada solusi. Lebih baik orang itu dibiarkan gak sadar dengan masalahnya.

Eh bener gak sih pikiranku ini?

Sudahlah, aku lebih baik baca buku lagi sambil menikmati perjalanan yang tinggal beberapa jam lagi.

Tapi sebenarnya gak konsen juga sih, masih inget dengan tanda tangan anaknya. Ah, sudahlah.

Perjalanan ke Yogya buat ngisi seminar analisa tanda tangan, terutama membahas tanda tangan anak. Banyak orang tua merasa benar sudah mendidik anak, padahal anak punya nilai sendiri terhadap apa yang mereka terima.

Kasus yang aku temuin, anak cewek mudah diperdaya sama anak cowok. Tahu-tahu sudah berhubungan suami istri. Aku tahu ya dari tanda tangan.

Ortunya mana tahu hal begitu. Bahkan diajak belajar analisa tanda tangan pun banyak yang gak mau. Mungkin tidak tahu itu baik kali ya? Jadi gak ada beban.

Tapi gak semua sih, ada juga yang memutuskan ikut, buktinya sudah ada 14 orang yang mau ikut seminar besok.

Mudah-mudahan materi besok bisa membuka mata para orang tua bagaimana cara mencintai anaknya versi si anak. Bukan versi orang tua.

Kebanyakan yang aku temui dari tanda tangannya, cowok playboy dan cewek cabe-cabean diproduksi dari rumah, buah didikan ortunya. Orang tua tahunya mereka anak baik. Lagian, mana ada anak yang secara jujur terbuka masalah gituan?

Jadi sebenarnya acara besok di Yogya pengen nyelametin orang tua dan anak-anaknya, tapi akhirnya aku gak bisa maksa juga kalau ada yang nolak ikut.

Padahal, kan gak enak ya bila diakhirat kelak, saat seorang ayah/ibu yang rajin pengajian dan ibadah di dunia, diseret ke neraka karena anaknya manggil-manggil dari neraka.

"Aku bejat karena gak pernah disayang ortu! Bawa mereka kesini, temenin aku disini sekalian!"

Iih ngeri.

Ah sudahlah, daripada membayangkan hal begituan, mendingan aku bayangin besok acara berjalan lancar dan ilmu semakin bermanfaat.

Aaamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun