Generasi muda yang saat ini disebut generasi milinial adalah generasi masa depan bangsa yang berperan untuk melanjutkan kehidupan berbangsa yang sejahtera. Sejak dahulu pemuda menjadi tonggak bangsa yang menetukan ke arah mana bangsa itu akan dibawa. Pemuda merupakan elemen utama dalam perjuangan dan pengorbanan suatu bangsa hal ini tidaklah berlebihan karena sebagaimana yang pernah Ir. Soekarno katakan "seribu orangtua hanya dapat bermimpi tetapi seorang pemuda dapat merubah dunia"
Generasi muda adalah generasi yang mengedepankan kemudahan dalam mengakses informasi dan lebih kreatif dari pendahulunya sebagai kecepatan informasi teknologi yang berkembang pesat. Perkembangan teknologi seharusnya menjadi modal besar generasi muda untuk memanfaatkan segala kemudahan dalam mencari informasi, menambah wawasan, net working dan up grading diri dalam membangun bangsa ini menjadi lebih baik tetapi pada kenyataannya segala kemudahan tersebut tidak dimanfaatkan semestinya. Banyak sekali tindak asusila, kriminalitas dan kenakalan generasi muda berawal dari kesalahan dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Generasi muda memiliki tantangan menjadi pemimpian masa depan dan mengubah nasib bangsa menjadi lebih baik. Namun, degradasi moral yang menjangkiti generasi muda saat ini menjadi momok dan masalah yang harus segara ditangani karena mau tidak mau masa depan bangsa ada ditangan mereka. Tidak ada negara manapun yang ingin negaranya di intervensi oleh negara lain karena itu idealisme, integritas, loyalitas terhadap bangsa sendiri harus tertancap kuat dalam benak mereka. Presiden RI ke-7 Joko Widodo menyatakan bahwa bangsa ini harus melakukan revolusi mental untuk menjadi bangsa yang besar. Gerakan yang dicanangkan oleh beliau haruslah dimulai dari keluarga sebagai awal mula terjadinya interaksi antar manusia.
Menurut Sudarsono (2008) kenakalan remaja merupakan perbuatan yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama. Berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak (KPA) pada tahun 2008, pergaulan bebas bukanlah suatu yang baru lagi di kalangan remaja. Hasil survei di dapatkan, 62,7% pelajar SMP dan SMA pernah melakukan seks sebelum nikah. 93,7% remaja sudah melakukan ciuman, stimulasi genital, dan oral seks, lalu 97% remaja sudah pernah nonton film porno. 25% remaja sudah melakukan aborsi karena hamil di luar nikah (Harian Umum Kabar Sumatera, edisi terbit tanggal 30 Mei 2013).
Sebagian besar generasi muda telah melakukan penyalahgunaan zat adiptif. Berdasarkan penelitian survei nasional perkembangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2011. Diperkirakan jumlah penyalahguna narkoba sebanyak 3,7 juta sampai 4,7 juta orang atau sekitar 2,2% dari total seluruh penduduk Indonesia yang beresiko terpapar narkoba di tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna narkoba tersebut, terdistribusi atas 27% coba pakai, 45% teratur pakai, 27% pecandu bukan suntik, dan 2% pecandu suntik. Didapatkan juga fakta bahwa, sebagian besar penyalahguna merupakan remaja dan berpendidikan tinggi (BNN dan Puslitkes UI, 2011).
Fenomena kerusakan generasi muda diatas tidaklah menjamin kehidupan bangsa yang sejahtera, taat terhadap hukum dan norma yang ada dan menjaga kultur serta budaya bangsa. Jika hal tersebut tidak segera dibenahi maka akan terjadi kerusakan lebih lanjut bahkan lebih besar. Hubungan interpersonal seorang individu secara global mencakup tiga hal yaitu hubungan dengan keluarga, hubungan di sekolah dan hubungan di masyarakat. Setiap individu akan memulai kehidupan interaksinya dengan keluarga. Maka, orang tua menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab dalam keberlangsungan masa depan seorang anak dari keluargalah seorang anak akan belajar mengenai konsep diri, hubungan dengan orang lain, adab berprilaku dan keyakinan hidup.
Pola asuh orang tua akan menentukan keberhasilan dan sukses anak dalam menjalani kehidupannya. Hasan (2008) menyebutkan ada 4 jenis pola asuh yang diterapkan orang tua yaitu pola asuh otoritatif, otoriter, permisif, dan tidak terlibat. Pola asuh otoritatif merupakan gaya pengasuhan yang fleksibel, di mana orang tua memberi anak otonomi, namun berhati-berhati menjelaskan batasan yang mereka harapkan dan memastikan anak untuk mengikuti pedoman. Pola asuh otoriter merupakan pola yang sangat mengikat di mana orang tua memberi banyak aturan bagi anak-anaknya, mengharapkan kepatuhan yang berdasarkan kekuatan daripada pengertian. Pola asuh yang permisif merupakan pola di mana orang tua hanya sedikit memberikan batasan pada anak atau orang tua jarang mengontrol perilaku anak. Pola asuh yang tidak peduli adalah cara pengasuh yang keras (sering kali bermusuhan) dan sangat permisif, seperti orang tua tidak memperhatikan anaknya dan masa depan anaknya. Lebih lanjut, Hasan berpendapat bahwa jenis pola asuh otoritatif sangat baik diterapkan karena cenderung menghasilkan individu yang kompeten dan dapat menyesuaikan diri dibanding 3 jenis metode lainya.
Manusia terdiri dari empat aspek yaitu bio, psiko, sosial dan spiritual. Metode pola asuh otoritatif dapat lebih disempurnakan dengan mengikuti cara Nabi Muhammad SAW dalam memberikan pola asuh untuk memenuhi kebutuhan fisik anaknya juga memberikan pola asih untuk membentuk jiwa serta meberikan pola asah dalam penguatan sosial dan spiritual. Sejalan dengan itu, membimbing anak pada hakikatnya bertumpu pada tiga upaya yaitu memberi teladan, memelihara dan taat beragama.
Pertama, memberi teladan. Peran utama orang tua harus dapat memberi teladan contoh akhlak yang baik. Bagaimana individu akan diterima dengan baik oleh orang lain dan melakukan aktualisasi diri jika ia tidak pernah diajarkan mengenai akhlak. Tidaklah Nabi diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak. Perlu diketahui bahwa anak adalah makhluk peniru yang paling handal maka, seharusnya orang tua benar-benar memberikan teladan karena orang tua adalah sekolah pertama bagi anak. Hal ini sesuai dengan semboyan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro "Ing Ngarsa Sung Tulada" di depan seorang pendidik harus memberi teladan."
Kedua, memelihara anak. Tanggung jawab ini berfokus pada pemeliharaan fisik dan mental. Dalam pepatah bahasa Arab "akal yang sehat terletak pada badan yang sehat" karena dalam ilmu jiwa, fisik dan psikis tidak bisa dipisahkan keduanya saling berintegrasi. Dalam kebutuhan fisik penulis membagi 2 perspektif. Pertama, dalam perspektif kesehatan. Gizi anak yang kurang tercukupi maka akan berpengaruh terhadap mental, kecerdasan dan kemampuan berfikir anak sedangkan yang kedua, dalam perspektif agama. Anak yang makan makanan dari sesuatu yang haram maka, setiap permintaan do'a akan tertolak. Bagaimana do'a itu akan terkabul jika daging di tubuhnya terproses sesuatu yang haram. Telah disebutkan dalam firman-Nya:
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah: 168)"