Mohon tunggu...
Sofyan
Sofyan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Jambi

Saya memiliki spesifikasi keilmuan sebagai desain pembelajaran dan desain pengembangan media pembelajaran. Hobi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Organisasi Harus Belajar?

22 Oktober 2022   08:38 Diperbarui: 22 Oktober 2022   08:40 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dr. Sofyan

Dosen Universitas Jambi

 

 Pendahuluan

 Saat ini dunia memasuki era baru dalam evolusi kehidupan organisasi. Perubahan besar dalam lingkungan ekonomi yang disebabkan oleh globalisasi dan teknologi telah memaksa organisasi untuk mentransformasikan dirinya dengan tujuan agar dapat beradaptasi dan bertahan hidup di dunia baru. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada produk eksternal, kegiatan, atau struktur, melainkan juga dalam cara organisasi beroperasi: nilai-nilai, pola pikir, bahkan tujuannya (metanoia). Organisasi belajar (learning organization/LO) berperan besar dalam membekali organisasi dengan basis pengetahuan dalam rangka memenangkan persaingan. LO terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan yang sangat cepat.

Marquardt (2002), menjelaskan bahwa agar dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif serta dapat bertahan, tumbuh, dan berkembang maka sebagai mahluk hidup, organisasi perlu membenahi dirinya melalui belajar. Betapapun kuat dan besarnya, sebuah organisasi tidak akan mampu bertahan dan berkembang, serta akan punah apabila tidak melakukan penyesuaian diri selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, serta lingkungan. 

Kematian organisasi yang demikian tidak ubahnya seperti kepunahan dinosaurus, binatang raksasa purba, yang tidak mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan lingkungannya. Agar dapat bertahan, berkembang, dan mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan organisasi lain, organisasi perlu belajar.

Apa organisasi belajar?

Senge (1990), mengatakan bahwa learning organizations [LO] organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together. LO adalah organisasi di mana orang mengembangkan kapasitas mereka secara terus-menerus untuk menciptakan hasil yang mereka inginkan, di mana pola pikir yang luas dan baru dipelihara, di mana aspirasi kolektif dipoles, di mana orang-orang belajar tanpa henti untuk melihat segala hal secara bersama-sama. Dasar pemikiran organisasi semacam itu adalah dalam situasi perubahan yang sangat cepat hanya organisasi yang fleksibel, adaptif, dan produktif yang akan unggul. Agar ini terjadi, organisasi perlu menemukan bagaimana memberi jalan kepada munculnya komitmen dan kapasitas orang untuk bisa belajar di semua level.

Sementara itu, Marquardt (1996) mendefinisikan bahwa LO adalah organisasi yang terus belajar secara sungguh-sungguh dan bersama-sama, kemudian mentransformasikan dirinya agar dapat mengoleksi, mengelola dan menggunakan pengetahuannya secara lebih baik untuk keberhasilan organisasi. Keinginan dan kebiasaan belajar tiap individu dalam organisasi akan menjadi tempat tumbuhnya organisasi yang terus belajar, atau organisasi pembelajaran. Learning dapat terjadi pada tingkatan individu, kelompok dan organisasi. Dalam pembelajaran organisasi, yang diperlukan adalah pembelajaran individual, karena individu adalah pihak yang dapat berfikir serta berbuat, dan organisasi yang belajar hanya didapatkan melalui individu yang belajar secara terus-menerus.

Pedler, Burgoyne, dan Boydell (dalam Wills, 2009) mengemukakan LO adalah "an organization that facilitates the learning of all its members and continuously transformsit self to achieve superior competitive performance." LO adalah suatu organisasi yang memberi kemudahan seluruh anggotanya untuk belajar dan mengubah bentuk organisasi secara terus-menerus guna memperoleh prestasi dan daya saing yang unggul.

Sedangkan Watkins dan Marsick (1992), menjelaskan LO ditandai dengan keterlibatan seluruh pegawai (total employee involvement) dalam proses yang dilakukan secara kolaboratif dan perubahan yang dapat dihitung secara kolektif terhadap nilai-nilai dan prinsip bersama.

Berdasarkan ketiga definisi seperti dijelaskan di atas, LO dapat dipandang sebagai organisasi yang dapat membangun dan mengembangkan kapasitas individu, pola pikir, cita-cita bersama, dan belajar berkelanjutan untuk mengubah organisasi sehingga mampu mencapai hasil yang memiliki daya saing tinggi. Kapasitas individu yang mampu mengkonstruksi sistem belajar berkelanjutan dalam rangka mengubah dan mengadaptasi organisasi sesuai dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah.

Karakteristik Organisasi Belajar

 Linda Morris (dalam Marquardt & Reynolds, 1994), mengamati bahwa dalam organisasi belajar terlihat: (1) perkembangan dan belajar sesorang dikaitkan dengan perkembangan dan belajar organisasi secara khusus dan terstruktur, (2) berfokus pada kreativitas dan adaptability, (3) semua regu merupakan bagian dari proses belajar dan bekerja, (4) jaringan kerja sangat penting dalam belajar dan menyelesaikan pekerjaan, (5) berpikir sistem adalah fundamental, (6) memiliki visi yang jelas di mana mereka berada dan ke mana tujuan mereka, dan (7) secara terus menerus melakukan transformasi dan berkembang. 

Marquardt, dalam Sitepu (2010), mengidentifikasi ciri organisasi belajar lebih lengkap dari pada yang dikemukakan Linda Moris, yakni: (1) belajar dilakukan melalui sistem organisasi secara keseluruhan dan  organisasi seakan-akan mempunyai satu otak, (2) semua anggota organisasi menyadari betapa pentingnya organisasi belajar secara terus menerus untuk keberhasilan organisasi pada waktu sekarang dan akan dating, (3) belajar merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus serta dilakukan berbarengan dengan kegiatan bekerja, (4) berfokus pada kreativitas dan generative learning, (4) menganggap berpikir system adalah sangat penting, (5) dapat memperoleh akses ke sumber informasi dan data untuk keperluan keberhasilan organisasi, (6) iklim organisasi mendorong, memberikan imbalan, dan mempercepat masing-masing individu dan kelompok untuk belajar, (7) orang saling berhubungan dalam suatu jaringan yang inovatif sebagai suatu komunitas di dalam dan di luar orgaisasi, (8) perubahan disambut dengan baik, kejutan-kejutan dan bahkan kegagalan dianggap sebagai kesempatan belajar, (9) mudah bergerak cepat dan  fleksibel, (10) Setiap orang terdorong untuk meningkatkan mutu secara terus menerus, (11) kegiatan didasarkan pada aspirasi, reffleksi, dan konseptualisasi, (12) memiliki kompetensi inti (core competence) yang dikembangkan dengan baik sebagai acuan untuk pelayanan dan produksi, dan (13) memiliki kemampu untuk melakukan adaptasi, pembaharuan, dan revitalisasi sebagai jawaban atas lingkungan yang berubah.

Ciri organisasi belajar seperti yang dikemukan Linda Moris dan Marquard menunjukkan, organisasi memiliki lingkungan, iklim, serta budaya yang tidak hanya mendorong orang dalam organisasi itu belajar secara perorangan dan bersama-sama, tetapi juga mempercepat proses belajar itu sendiri untuk meningkatkan kinerja organisasi. Belajar dan saling membelajarkan menjadi kebutuhan individu dan kelompok serta bukan menjadi beban karena mereka merasakan kepuasan sendiri dalam menikmati hasil belajar berupa pengetahuan atau keterampilan baru dan keberhasilan kerja mereka. Masing-masing orang menemukan kegembiraan, kebanggaan, dan tantangan dalam bekerja. Perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagai hasil belajar membuat iklim organisasi semakin bergairah. Organisasi dapat dianggap sebagai sekelompok pekerja yang diberdayakan dan menghasilkan pengetahuan, produk, dan jasa baru.

Senge (1990) juga menekankan pentingnya dialog dalam organisasi, khususnya dengan memperhatikan pada disiplin belajar tim (team learning). Maka dialog merupakan salah satu ciri dari setiap pembicaraan sesungguhnya dimana setiap orang membuka dirinya terhadap yang lain, benar-benar menerima sudut pandangnya sebagai pertimbangan berharga dan memasuki yang lain dalam batasan bahwa dia mengerti tidak sebagai individu secara khusus, namun isi pembicaraannya. Tujuannya bukan memenangkan argumen melainkan untuk pengertian lebih lanjut. Belajar tim (team learning) memerlukan kapasitas anggota kelompok untuk mencabut asumsi dan mesu ke dalam pola "berfikir bersama" yang sesungguhnya.

 

Mengapa Organisasi Harus Belajar?

Organisasi perlu belajar tentu saja didasarkan pada keinginan organisasi itu sendiri untuk tetap eksis atau bertahan hidup.  Suatu organisasi dapat bertahan, paling tidak harus memiliki; kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungannya, kemampuan berkompetisi serta kemampuan bersiergi dengan lingkuganya.

Perubahan-perubahan yang begitu cepat dan tidak dapat diprediksi dalam berbagai bidang seperti; eknomi, sosial, ilmu pengetahuan, dunia kerja, tuntutan perubahan penghasilan para pegawai dan karyawan, mengharuskan organisasi setiap saat membangun dan menyesuaikan dirinya berdasarkan kondisi serta tuntutan perubahan tersebut. Menurut Marquardt (dalam Sitepu, 2010), dalam tahun-tahun terakhir Abad ke-20 telah terjadi perubahan yang sangat berarti dalam: (a) lingkungan ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan, (b) lingkungan tempat bekerja, (c) pelanggan, dan (d) pekerja.  Perubahan itu dipicu oleh globalisasi, persaingan ekonomi dan pemasaran, tekanan lingkungan dan ekologi, ilmu pengetahuan, dan tuntutan kuat masyarakat. Drastis dan besarnya perubahan di keempat bidang itu mengakibatkan organisasi tidak dapat mengatasi masalah-masalah dengan mengandalkan cara-cara konvensional. Pengelolaan organisasi tidak dapat lagi dilakukan dengan menerapkan pengetahuan, strategi, kepemimpinan dan teknologi masa lalu. Kalau ingin tetap bertahan dan berkembang dalam lingkungan yang sarat dengan perubahan, organisasi perlu meningkatkan kemampuan belajarnya.

Selajutnya Miarso (2002) mengemukakan beberapa alasan mengapa saat ini diperlukan organisasi belajar. Pertama, dalam rangka pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, kita tidak lagi dapat mengandalkan pada tersedianya tenaga kerja yang banyak dan murah, melainkan tenaga kerja yang terdidik dengan baik, terlatih dengan baik dan menguasai informasi dengan baik (well educated, well trained, and well informed). Perubahan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan merupakan azas dari organisasi belajar. Kedua, pengembangan organisasi yang lebih berorientasi pada lingkungan internal dianggap tidak tepat lagi. Sejalan dengan gerakan masyarakat informasi (information society), maka organisasi perlu menguasai informasi mengenai lingkungan secara komrehensif. Organisasi memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpengetahuan (knowledge worker). Perkembangan ekonomi lebih dilandaskan pada pengetahuan dengan tenaga kerja berpengetahuan sebagai aset paling utama.

Seperti dijelaskan Sitepu (2010), secara operasional organisasi belajar bermanfaat untuk: 1) meningkatkan kenerja yang lebih unggul dan mampu bersaing, 2) memenuhi kebutuhan pelanggan, 3) memperbaiki mutu, 4) memahami resiko dan keberanekaragaman lebih mendalam, 5) mewujudkan kesejahteraan pribadi dan rohani, 6) meningkatkan kemampuan mengelola perubahan, 7) memperluas batas-batas, 8) menyatu dengan masyarakat, 9) mengejawantahkan kebebasan dan kemerdekaan, dan 10) memenuhi tuntutan waktu.

Bagaimana Organisasi Belajar?

Sitepu (2010), menjelaskan bahwa kegiatan belajar dalam organisasi belajar terjadi pada tiga tingkat, yaitu: tingkat individual, tingkat regu/kelompok, dan tingkat organisasi secara keseluruhan.  Belajar pada tingkat individual sangat diperlukan karena individulah yang dapat berpikir dan bertindak, walaupun tidak merupakan jaminan bahwa apabila individu belajar secara otomatis organisasi juga belajar. Akan tetapi, tidak mungkin organisasi belajar apabila tidak terjadi proses belajar pada tingkat individu.

Lebih jauh Sitepu menjelaskan, bahwa langkah-langkah menjadi LO adalah harus ada komitmen untuk menjadi pembelajar. Selanjutnya, mendorong birokarasi dan merampingkan struktur birokrasi terkait dengan tugas dalam fungsi, tata kelola. Birokrasi tidak bagus jika terjadi disfungsi sehingga tujuan tidak tercapai. Mendorong birokrasi menjadi selayaknya dan merampingkan struktur. Artinya, mengarahkan flat organisasi bukan tall organisasi, ahli dan mengetahui apa yang dikerjakan. Yang penting adalah koordinasi dan monitoring. Empowering, memeberikan pengetahuan, kemampuan dan kesempatan belajar lebih lanjut dan memfasilitasi, memberikan sumber daya lain dalam memberdayakan skill yang dimiliki, dan memberikan reward. Reward tidak dalam bentuk financial saja tetapi idelaisme juga bisa dianggap reward.


Sistem dan Subsistem Organisasi Belajar

Organisasi belajar seperti yang dijelaskan oleh para ahli menekankan pada komponen-komponen yang saling terkait antara satu dengan yang lain, yaitu: kapasitas individu, pola pikir, aspirasi bersama, belajar berkelanjutan, tranformasi organisasi, dan daya saing hasil.  Marquardt (1996), menjelaskan komponen tersebut ke dalam sistem dan subsistem. Sistem belajar yang dimaksud terdiri atas belajar itu sendiri, organisasi orang, pengetahuan dan teknologi yan digambrakan sebagai berikut:

Gambar: Sistem Organisasi Belajar (Marquardt, 1996).

Komponen-komponen dalam sistem tersebut memiliki subsistem. Subsistem belajar terdiri atas: 1) tingkat yang meliputi; individu, grup/kelompok, dan organisasi, 2) jenis belajar yang terdiri atas adaptif, antisipatori, deuteron, dan tindakan, 3) keterampilan belajar yang meliputi sistem berpikir, model mental, penguasaan perorangan, belajar beregu, visi bersama dan dialog. Keterampilan dalam organisasi belajar oleh Marquardt, diistilahkan dengan the fifth disiplin oleh Peter Senge, yang tidak memasukkan disiplin dialog sebagai satu disiplin tersendiri karena menurutnya dialog secara inplisit telah mewarnai kelima disiplin tersebut.

Marquardt (1996) mengelompokkan subsistem organisasi kedalam empat bagian yaitu: visi, budaya, struktur, dan strategi organisasi. Sedangkan subsistem orang dibagi dalam enam bagian yakni: manager/pemimpin, karyawan, pelanggan, rekan usaha, dan masyarakat. Unsur pengetahuan meliputi akuisisi (data dan informasi yang diperoleh dari dalam dan luar organisasi), kreasi (pengetahuan baru yang diciptakan), simpanan (pengetahuan yang mudah diperoleh anggota organisasi), transfer dan penggunaan (pengalihan informasi dan pengetahuan antar individu serta penggunaannya dalam organisasi). Terakhir adalah subsistem teknologi terdiri dari unsur-unsur teknologi informasi, belajar berbasis teknologi dan sistem pendukung kinerja elektronik.

Marquardt tidak menekankan kepada salah satu sistem dan subsistem tersebut sebagai suatu hal yang penting tetapi ia melihat bahwa semua unsur tersebut penting dan merupakan satu kesatuan yang sistemik. Artinya, jika terdapat satu subsistem yang tidak berjalan, maka akan menghambat pergerakan dari subsistem lainnya.

Hambatan dalam proses belajar, bisa datang dari individu maupun organisasi. Dalam konteks individu hambatan belajar terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah: 1) pengetahuan individu tersebut tersimpan sendiri, 2) individu yang memiliki pengetahuan tersebut tidak ingin berbagi dengan anggota organisasi lainnya, 3) individu-individu dalam organisasi tidak menyadari manfaat dari belajar itu sendiri, dan 4) individu-individu dalam organisasi tersebut tidak memiliki waktu yang cukup untuk belajar.

Sedangkan dalam konteks organisasi, hambatan belajar dapat terjadi karena hal-hal berikut: 1) kurangnya dukungan dari manajemen organisasi; para pengambil kebijakan tertinggi di level organisasi kurang memberikan dukungan untuk berubah 2) budaya atau kultur institusi/organisasi yang tidak bersahabat; biasanya terjadi tidak saling percaya, disiplin rendah, 3) menganggap bahwa belajar tidak menjadi bagian dari cara kerja organisasi atau dianggap hanya tanggung jawab bidang human relation.

Oleh karena itu komitmen masing-masing orang dan kemampuan untuk belajar adalah penting dalam membangun budaya belajar dalam organisasi. Individu maupun organisasi harus mengubah paradigma lama di mana proses belajar bersifat formal dan tanggung jawab departemen tertentu menjadi paradigma baru di mana proses belajar menjadi tanggung jawab semua orang dan dapat dilakukan di mana saja.

Organisasi harus dapat mendukung terjadinya sebuah proses belajar secara sinergis melalui adanya: 1) kontributor, orang yang bersedia membagi ilmu. 2) audiens, orang yang menjadi pendengar, 3) media, cara, tempat, ataupun mekanisme yang dipakai dalam proses belajar.

Peran Pemimpin/Manajer dalam Membangun Organisasi Belajar

Tidak sedikit gaya belajar yang dikembangkan di masa lalu tidak diterima dan sulit dikembangkan untuk masa yang akan datang. Leader membutuhkan suatu perubahan gaya kepemimpinan dan gaya mengontrol kearah pemberdayaan dari memberi komando ke model melayani, dari berfungsi sebagai manajer transisi ke arah pemimpin yang transformatif.

Sejalan dengan hal itu Senge, seperti yang dikutip oleh Sitepu (2010), berpendapat organisasi belajar memerlukan pandangan baru tentang kepemimpinan. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan tradisional didasari anggapan bahwa manusia adalah lemah dan tidak bertenaga, kurang memiliki visi pribadi dan tidak menguasai kekuatan perubahan, serta kekeurangan-kekurangan mereka hanya dapat diatasi oleh pemimpin yang besar. Sedangkan organisasi belajar menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan bersama untuk memaksimalkan sumber daya yang dimiliki dan mengembangkan kemampuan kepemimpinan pada diri setiap orang. Pemimpin bertanggung jawab membangun orgnisasi yang memungkinkan setiap orang mengembangkan kemampuannya memahami kompleksitas dan visi serta memperbaiki model mental. Singkatnya, pemimpin bertanggung jawab atas terjadinya proses belajar dalam organisasi.  Dengan demikian, pemimpin berfungsi lebih sebagai perancang, guru, dan pelayan. Kesan bahwa pemimpin adalah pakar, penunjuk arah, dan pengendali berubah menjadi katalist, penyalur/pembagi informasi, dan koordinator. Kepemimpinan dalam organisasi dilandaskan pada pendekatan kolegial yang kooperatif dan

Senge (1990), mengatakan peran pemimpin dalam LO ada tiga, yaitu:

  • Sebagai guru. Tanggung jawab pemimpin adalah menjadi nara sumber, instruktur sekaligus sebagai penasehat bagi anggota-anggota organisasinya. Ia berkewajiban melatih, memberikan informasi, pengetahuan-pengetahuan baru, keterampilan yang diperlukan sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
  • Sebagai desainer. Dengan teknologi, struktur, lingkungan baru dan sumber-sumber organisasi, seorang pemimpin harus menjadi arsitek yang dapat menyesuaikan elemen-elemen organisasi kedalam sistem untuk kemajuan. Seorang pemimpin harus mampu mendefenisikan kembali organisasi, membentuk kembali jaringan dan tim dan menemukan kembali metode baru untuk memilih, melatih dan member hadiah, sehingga setiap orang dapat berpartisipasi dalam lingkungan global.
  • Sebagai pelayan. Seorang pemimpin tidak hanya dilayani, tetapi juga harus dapat melayani bawahannya, memfasilitasi mereka agar dapat berkembang kearah kemajuan organisasi. Pada sisi lain, pemimpin dalam LO perlu memberikan kepercayaan kepada bawahannya untuk bertanggung jawab sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Pemimpin harus memberi kesempatan kepada individu untuk mengembangkan kreatifitasnya, belajar memimpin dirinya sendiri sebagai bagian dari kaderisasi kepemimpinan organisasi. Kepemimpinan seperti ini, di samping membangun rasa memiliki terhadap organisasi, tanggung jawab terhadap organisasi, juga setiap saat dapat memungkinkan terjadinya alih kepemimpinan. Perubahan kepemimpinan tersebut justru tidak mejadi masalah seperti perubahan-perubahan kepemimpinan yang kita saksikan saat ini.

 

PENUTUP

Bahwa agar dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif serta dapat bertahan, tumbuh, dan berkembang maka, organisasi perlu membenahi dirinya melalui belajar. Betapapun kuat dan besarnya, sebuah organisasi tidak akan mampu bertahan dan berkembang, serta akan punah apabila tidak melakukan penyesuaian diri selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, serta lingkungan.

Proses belajar yang terjadi dalam tingkat individu, tim/kelompok dan organisasi harus dilakukan secara efektif dalam rangka meningkatkan kemampuan kompetisi organisasi, kemampuan menghadapi segala perubahan lingkungan organisasi serta kemampuan mengitegrasikan diri dengan organisasi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Belt, S. 1997. Emerging Vision of an Information Age Education, http://www.pnx.com/gator

Marquardt, M.J. 1996. Building the Learning Organization. New York: McGraw-Hill.

Miarso, Y. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan.  Jakarta Prenada Media Bekerjasama dengan Pusat Teknologi dan Informasi Pendidikan.

Senge, P. 1990. Fifth Discipline. New York: Doubleday.

Senge, P., Cambron-McCabe, N., Lucas,T., Smith, B. , Dutton, J., & Kleiner, A. (2000). Schools That Learn: A Fifth Discipline Fieldbook for Educators, Parents, and Everyone Who cares about education.   New York: Doubleday.

Sitepu, B.P., Organisasi Belajar, http://www. bintangsitepu.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun