Cancel culture telah menjadi istilah populer saat ini. Bagi saya, cancel culture diartikan sebagai membatalkan relasi atau dukungan terhadap seseorang. Seorang selebritas atau figur publik melakukan atau mengatakan hal yang menyinggung kemudian, muncul gerakan penolakan terhadap orang tersebut. Fenomena tersebut kemudian secara efektif mengakhiri karir mereka atau menjatuhkan harga diri mereka, baik melalui boikot atau tindakan disiplin.
Cancel culture bisa digunakan untuk membawa perhatian pada isu-isu sosial atau ketidakadilan yang sering kali diabaikan. Dengan mengecam atau memboikot individu atau perusahaan, cancel culture bertujuan untuk memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun kepada orang lain, sehingga perilaku buruk tidak terulang lagi. Menurut saya, Cancel culture cukup efektif dalam menghalau rasisme, seksisme, kekerasan, atau hal lain yang membahayakan. Cancel culture bisa digunakan untuk membawa perhatian pada isu-isu sosial atau ketidakadilan yang sering kali diabaikan. Gaung cancel culture semakin meluas bersamaan dengan peningkatan pengguna media sosial. Melalui media sosial, gerakan cancel culture disebarluaskan.
Pada tahun 2021, Dunia hiburan Indonesia dikagetkan dengan isu pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang pembawa acara yaitu Gofar Hilman pada tahun 2018. Beberapa saat kemudian, muncul gerakan cancel kepadanya dengan hashtag #BeraniLawanGH hingga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta dan SAFEnet rilis PERS “Dukung suara korban kekerasan seksual, posko pengaduan GH dibuka!,” Hal itu terjadi karena korban pelecehan GH terus bertambah.
Apa yang terjadi pada Gofar, dapat menjadi peringatan bagi orang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa. Melalui kejadian cancelling tersebut, GH kemudian kehilangan reputasi positifnya, kehilangan pengikut, hingga dikeluarkan dari komunitas bisnisnya. Seiring berjalannya waktu, kasus GH perlahan redup. Namun tidak disangka, Syerin (yang mengaku korban GH) mengaku tak pernah dilecehkan secara seksual oleh Gofar Hilman (GH). Syerin menyebut cuitan yang viral pada Juni 2021 itu hanyalah sebatas tudingan palsu. Syerin membuat video klarifikasi dan video permintaan maaf didampingi oleh kedua orang tuanya.
Seiring dengan semakin dikenalnya cancel culture, muncul perdebatan terkait dampak yang ditimbulkan. Apakah cancel culture memberi dampak yang positif, atau justru negatif kepada figur publik atau institusi yang diberi label canceled? Nyatanya, cancel culture memiliki dampak ganda, positif dan negatif. Dampak positif dari cancel culture yaitu dapat menjadi alat kontrol sosial dalam bermasyarakat. kemudian, Fenomena cancel culture secara tidak langsung turut mengatur perilaku manusia khususnya dalam aktivitasnya di media sosial.
Sedangkan, jika dilihat dari dampak negatifnya cancel culture dapat merusak citra figur publik terkait tuduhan yang belum terkonfirmasi kebenarannya, seperti contoh kasus Gofar Hilman. Kemudian, cancel culture dapat mendorong orang untuk mengikuti suara mayoritas terhadap sebuah isu, bahkan mungkin saja mereka berbeda pendapat. Selanjutnya, dapat menciptakan kondisi spiral of silence, karena fenomena ini membungkam kelompok orang yang memiliki pandangan atau pendapat berbeda. Kelompok orang ini akhirnya memilih diam dan mengikuti kelompok mayoritas agar tidak dikucilkan atau diserang. Dalam hal ini, media berperan dalam mempengaruhi opini publik, khususnya melalui media sosial.
Cancel culture di Indonesia tidak berdiri sendiri sebagai fenomena baru, tetapi memiliki akar yang kuat dalam budaya setempat, seperti gotong royong, budaya malu, dan penghormatan terhadap norma sosial. Praktik pelabelan cancel culture tidak dapat dipisahkan oleh media sosial. Proses cancel dapat terjadi dalam waktu yang singkat.
Namun demikian, juga dapat terjadi dalam waktu yang tidak berdekatan, misalnya saat audiens menemukan jejak digital orang yang didukung sebelumnya, ternyata tidak sesuai dengan harapan, maka proses cancel juga dapat terjadi. Situasi ini membuktikan bahwa media sosial berperan besar dalam fenomena cancel culture. Terkait dengan media sosial, pelaku paling banyak dari gerakan cancel culture di media sosial berasal dari usia milenial akhir dan generasi Z. Sebagai kelompok digital native, mereka memiliki kekuatan yang besar untuk mengangkat sebuah isu atau tren.
Pemikiran progresif berpengaruh besar terhadap munculnya cancel culture. Berpikir progresif pada dasarnya mendorong kesadaran sosial terhadap isu-isu seperti kesetaraan gender, ras, dan keadilan sosial. Dengan pemikiran ini, individu atau kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai progresif seperti, tindakan atau pernyataan yang dianggap diskriminatif atau ofensif yang sering menjadi target cancel culture. Tujuannya adalah menuntut pertanggungjawaban dan mendorong perubahan perilaku, tetapi sering kali berubah menjadi pengucilan tanpa peluang rehabilitasi atau diskusi konstruktif.
Hingga saat ini, cancel culture belum menjadi fenomena masif di Indonesia. Efek viral masih terbatas, utamanya daerah-daerah perkotaan dengan karakter penduduk yang memiliki tingkat literasi digital yang baik, memiliki beragam perangkat digital, dan akses internet yang mumpuni. Sehubung dengan eratnya cancel culture dengan media sosial, diharapkan para pembuat konten dapat lebih bijak dengan mempertimbangkan konsep mengenai kontennya agar tidak bersinggungan dengan sesuatu yang keluar dari norma atau aturan yang berlaku. Hal ini dilakukan agar dapat menimimalisasi kemungkinan menerima cancel dan cyberbullying dari masyarakat.
Tidak hanya bijak pada produksi konten, sebagai pengguna media sosial juga harus bijak pada pemanfaatan teknologi. Pergunakan media sosial untuk keperluan yang positif agar dapat menciptakan ruang serta ekosistem digital yang aman, nyaman, dan damai. Pelajari ragam karakteristik media sosial agar kita dapat memanfaatkan platform tersebut dengan baik sehingga tidak mudah menghakimi seseorang/industri/lembaga hanya dari konten yang relatif singkat. Membiasakan diri untuk selalu mencari latar belakang dan membekali diri dengan sudut pandang pola pikir yang luas. Peningkatan literasi digital kepada masyarakat yang didorong oleh para pemangku kepentingan di antaranya pemerintah, akademisi, dan penyedia konten. Sehingga masyarakat dapat lebih bijak beraktivitas di media sosial, tidak mudah terprovokasi, dan selalu mencari kebenaran informasi terlebih dulu sebelum memutuskan bersikap atas sebuah isu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H