Indonesia tiba-tiba melihat tubuhnya yang cungkring, tipis, dan itu terlihat begitu miris. Namun, masih sempat-sempatnya saja ia untuk menyunggingkan cengiran kalem. "Inilah yang membuat badanku remuk, Thomas. Badanku tak sanggup menopang bagaimana manusia bergantung penuh terhadap uang. Ya, selembar kertas itu. Uang seolah menggantikan peran Tuhan. Kini, banyak mereka yang lebih takut miskin dibanding takut mati. Bukan hanya bagi kaum miskin, tetapi yang kaya pun sama. Uang berlimpah-limpah yang mereka dapat bukan membuat mereka bersyukur. Itu semakin membuat mereka tak puas.
"Jadilah, mereka merekrut orang-orang desa dengan janji-janji manis. Dan alhasil, mereka tergiur. Mereka lebih memilih ke kota yang menjanjikan dibandingkan di pedesaan. Lalu, ambruklah kita dalam urusan pertanian. Tahu, tempe, pun kena imbasnya. Bagaimana kedua objek itu, tahu dan tempe, hal yang seharusnya sudah bisa kita kuasai -melihat kesuburan alam kita, menambah tersuruknya negaraku. Tahu Sumedang saja mungkin sudah tidak asli Sumedang. Manusia-manusia lebih memilih ke tempat-tempat yang 'uang'nya menjanjikan. Kelas atas pun mulai memperbudak mereka dalam sebuah proyek besar-besaran. Dan, proyek mereka pasti tak luput dari peranku, Thomas. Secara tak langsung, tambang, timah, kekayaan yang kupunya pun raib secara perlahan. He-he, kau bisa lihat lah bagaimana tubuhku bisa setipis ini."
"Seolah-olah uang menggiring kita kembali kepada kapitalisme."
"Memang sangkar yang paling tepat untuk uang hanya itu, kan? Dalam sangkar itulah kita bisa melihat, bagaimana yang kaya semakin kaya. Dan semakin terpuruklah negaraku dalam soal ekonomi. Apalagi, kini uang sudah bermutasi menjadi berbagai hal, mulai dari kartu ATM, saham, bunga, dan sebagainya. Padahal, uang pun bukan satu-satunya sasaran yang bisa kita salahkan. Uang hanya medium. Hasrat kitalah yang menghantarkan kita kepada hal-hal tak diinginkan. Sebut sajalah yang sedang eksis, korupsi. Duh, duh, duh, banyak sekali sekarang manusia yang merenggut hak-hak orang lain lewat uang. Ada yang korupsi lewat jalur pajak, bahkan Al-Quran pun juga menjadi salah satu satu korbannya. Jika sudah begitu, kesengsaraan akan menjalar ke mana-mana, sampai ke akar-akarnya-tak lain dan tak bukan, rakyat miskin."
Saat rentetan kalimat diucapkan oleh Indonesia, Cut Dien segera menyerobot, "ada kalanya kita harus kembali ke zaman barter. Lewat barter, kita tak butuh mata. Kita hanya butuh rasa percaya. Kita tak perlu melihat-lihat bagaimana besarnya barang yang akan kita dapatkan atau betapa kecilnya barang yang akan kita rengkuh. Tetapi, bukankah itu begitu indah, di kala manusia saling membutuhkan?"
Indonesia tersenyum tipis, dan ia tertawa. "Dalam konteks uang pun sebenarnya kita bisa menemukan keindahan, Cut Dien. Tetapi, ya itu masalahnya, hasrat kitalah yang menjebloskan kita ke dalam lubang penuh maki."
Cut Dien terdiam. Ia lebih memilih mengelus punggung Kartini yang masih menangis.
Bung Hatta pun akhirnya berceletuk, "dan saya bingung juga. Mengapa mereka terlalu senang bergumul dengan uang, bila di akhir kehidupan, sekali renggut, habislah sudah?"
Mendengar pernyataan itu, Indonesia kembali terpingkal pelan. "Gaya bicaramu seperti Mephistopheles saja."
Bung Hatta mengernyitkan kening, kedua alisnya menyatu, "Apa itu? Jenis nyamuk?"
"Bukan, bukan. Hanya seorang tokoh dalam karya Goethe, Faust."