Mohon tunggu...
Sofwan Rizky
Sofwan Rizky Mohon Tunggu... -

Masih muda, 14 tahun. Seorang pelajar dari SMPN 19 Jakarta yang ketagihan barisan aksara, senang berkelana dalam hutan penuh makna. Tubuhnya kecil, makanya bicara banyak. Salam kenal! :D\r\n\r\nBila ingin membaca kuliner sastra yang pernah saya buat, silahkan datangi : http://dapursampah.blogspot.com/\r\n\r\nDimohon kedatangannya. :)))

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Indonesia Bicara ...

23 September 2012   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:52 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

17 Agustus 2012

Dalam satu ruangan yang lengang, mereka masing-masing beriak tenang. Ada satu yang termangu di depan jendela, ada yang mengetik, ada juga yang sedang mengusutkan kening saat melihat Koran hari itu. Dirgahayu Indonesia Ke- 67.

Kartini menyengir santai, walau hatinya terasa terbahak puas. Indonesia masih hidup? "Kawan, Indonesia hari ini berulang tahun!"

Jemari Cut Dien berhenti bergerak. Mungkin, ia tersentak. Bersikap kalem, membenamkan matanya yang terbelalak. Ia memutar punggung, bertatap mata dengan Kartini. "Indonesia berulang tahun?"

Pattimura yang sedang duduk termenung pun terlonjak. "Benarkah? Indonesia masih bertahan?"

Kartini mengangguk lemas, tanpa daya.

"Apakah wajahku masih tertoreh di uang lima puluh ribu?" tanya Cut Dien mendesak, seiring dengan nada bicaranya yang hampir tersedak. Bergetar, juga gentar.

"Sayang, belum ada Koran khusus untukmu, ya. Sehingga kau tidak perlu ketinggalan zaman begitu," Kartini mendelik tajam ke arah Cut Dien, melipat tangan di dadanya. "Wajahmu sudah lama lenyap dari uang lima puluh ribu. Sekarang, uang Indonesia satu itu sudah berganti tokoh, sekaligus warna. I Gusti Ngurah Rai yang memantau di sana. Ingin mengadakan survei, katanya. Ia ingin mengecek, apakah ada kejujuran yang disekap jauh-jauh di depan hadapan uang lima puluh ribu?"

Cut Dien tertawa. Ia kembali meneruskan ritual mengetiknya. "Baguslah, kalau begitu. Sungguh, aku benar-benar tak nyaman bila wajahku ada di sana. Bukan begitu, Thomas?"

Pattimura melirik Cut Dien. Nama aslinya terselip dalam kalimat tersebut. "He? Ya, begitulah. Walau wajahku termasuk dalam uang seribu, tetapi tetap saja. Banyak juga kok, orang yang menyelewengkannya."

"Duh, sudah hentikan. Aku nggak tega mendengar perbincangan kalian. Indonesia pasti sekarang sudah ambruk, sudah sekarat. Tetapi lihat saja, Indonesia sudah di ujung ambang, masih saja ada yang menyambitnya berkali-kali. Bisa jadi, pecutan itu lebih perih dibandingkan malaikat pencabut nyawa," ujar Kartini, menundukkan wajahnya lesu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun