Pernah aku begitu benci Pak Harto, tapi sekarang aku sadar: aku salah!
Pak Harto adalah pahlawan bagi para pencintanya. Aku yakin itu. Jika almarhum Bapak masih hidup, mungkin ia akan sudah ceriwis mengomentari tarik ulur pengusulan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional. Ia adalah seorang Soehartois (meniru istilah Soekarnois, hehe). Sebagai cah Yogjo, almarhum Bapak memang pengagum Soeharto. Sewaktu aku kecil dulu, ia selalu bercerita tentang kisah heroik Pak Harto, terutama tentang perannya dalam Serangan Umum 1 Maret, yang terkenal dengan momen Enam Jam di Jogja itu. Ia pula yang selalu mengingatkanku untuk menonton film "Janur Kuning", yang menampilkan Kaharudinsyah sebagai Letkol Soeharto.
Tapi entah mengapa, sejak SD pun aku sudah tak suka Pak Harto. Tak obyektif, memang. Mungkin aku silau dengan pesona Margareth Tacher, Ronald Reagen, atau Lee Kuen Yeuw yang fasih ber-english ria. Juga tentang kisah Bung Karno yang fasih multibahasa. Sedangkan Pak Harto, tentu saja tidak. Ia selalu berpidato dalam bahasa Indonesia. Sebagai anak kecil, aku punya kesan: seorang presiden harus bisa berbahasa asing. Sebagai anak buruh, situasi hidup yang serba pas-pasan menambah ketakpuasanku pada keadaan, yang ketika itu identik dengan Pak Harto.
Di usia belasan tahun, persisnya 18 tahun, ketika aku dicekoki semangat perlawanan anti NKRI, lagi-lagi ketaksukaanku atas Pak Harto tambah memuncak. Apalagi ia dianalogikan sebagai Abu Lahab, pemimpin Quraisy yang memusuhi Nabi. Tentang ini, ada baiknya kuceritakan sedikit agar lebih jelas duduk perkaranya.
Ihwal penganalogian Pak Harto sebagai Abu Lahab itu bermula dari penafsiran surat Al-Lahab, yang menyebutkan sifat-sifat Abu Lahab sebagai pemimpin Quraisy yang banyak harta dan perusahaan (ma aghna anhu maaluhu wa ma kasab = tidak berguna segala harta kekayaan dan usahanya). Bahkan nama Soeharto pun secara bahasa bermakna "banyak harta" (Su = banyak dan Harto = harta). Ditambah lagi dengan kelanjutan ayat itu wa amroatuhu (dan perempuannya atau istrinya), yang kemudian dinisbatkan kepada peran Bu Tien, yang konon sangat besar. Bahkan, ada mitos Jawa yang bilang: nasib Pak Harto sebagai Presiden karena ia ketiban wahyu kepabron lantaran memperistri Bu Tien (jangan-jangan begitu pula dengan Pak Beye dan Bu Ani?!?!?).
Sungguh, aku jadi suka tertawa geli jika mengingat kekonyolan gothak-gathik gathuk itu. Embuh, benar atau tidak. Yang jelas itu konyol karena mempertaruhkan penafsiran sejarah dengan penafsiran model semau gue.
Lanjut, alhasil berkat model provokasi sejarah yang semacam itu aku masuk ke dalam barisan manusia penentang NKRI. Memang, mereka itu tak bersenjata. Tapi, militansinya luar biasa. Selama bertahun-tahun, aku memperolok-olok Pak Harto. Bahkan, bos kami sempat memberi nama seekor sapi dengan Toing, yang merupakan plesetan dari nama Pak Harto. Hmm, jika kupikir-kupikir, jahat betul kami.
Memang, belakangan ketika skema perjuangan organisasi melunak, justru si Bos malah mendekat Pak Harto. Berkat strategi pendolopan yang luar biasa, Pak Harto mengirim banyak sapi untuk dipelihara oleh si Bos, yang belakangan bergelar Syaykh. Sebagai imbalan kebaikan Pak Harto, sebuah bangunan megah bernilai puluhan miliar dinamai Gedung H.M. Soeharto. Anda bisa menjumpai gedung itu di kompleks Kampus Universitas Al-Zaytun Indramayu. Jika dipikir-pikir, politik memang menggelitik. Dulu dikatai dengan istilah Toing, belakangan disanjung-sanjung setinggi awan. Yah, namanya juga politikan, bukan?!?! Meski levelnya, menurut banyak orang, masih merupakan politik ethok-ethok (belum politik sungguhan).
Sekarang, setelah era reformasi bergulir, aku banyak menguping aspirasi saudara se-Indonesia dari Binjai sampai Wamena (itu karena aku belum pernah menginjak tanah Sabang dan Merauke).
"Enakan zaman Pak Harto," kata mereka membandingkan.