Irama yang nyaring dan merdu, berdendang hampir lima tahun sekali
Suaranya meliuk, mengalun bak irama musik surga
Nada iramanya seakan tak terlukiskan oleh panca indera, tak terrasakan oleh mata hati, dan tak terbayangkan oleh akal budi
Membius telinga-telinga kosong tanpa dosa
Di balik tembok yang kokoh dan bangunan yang menjulang
Jerit, rintih, tangis rakyat memekik.
Hingga hendak memecah gendang telinga
Tidak sedikit si miskin kehilangan akal sehat bahkan terkapar tak bernyawa
Tersebab menahan beban hidup yang semakin membumbung
Si kaya semakin menggila menumpuk kekayaan, lalu menari, berpesta dan berdansa
Para pengusa tidak lagi ingat dari mana tahta berhias emas didapat
O negeri surga, sungguh indah menyayat gambaran setiap jengkal tanahmu
Negeri subur makmur, "tongkat kayu dan batu jadi tanaman", lirik Koes Plus
Negeri nan elok mempesona, memukau setiap mata yang memandang
Kini anak-anak negeri belum dapat merasakan hasil bumi negerinya sendiri
Lalu ke mana, ke mana alunan musik para elit, pemimpin anak bangsa yang didendangkan lima tahun sekali itu? Ah, entah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H