"Aku belajar dan membaca agar umur orang lain berguna bagiku, dan aku menulis agar orang lain mengambil manfaat dariku"
 *Felix Siauw
Di negeri ini, 95% lebih penduduknya bisa membaca, tapi sejatinya, kita belum pernah mengalami keseriusan alias darurat literasi seperti hari ini. Kita memang nyaris bisa baca semua, tapi pertanyaannya adalah seberapa berkualitas bacaan milik kita, seberapa tinggi level membaca kita. Bisa baca, tidak otomatis 'pandai' membaca. Ditengah gempuran media sosial, aplikasi pesan instan, dan sebagainya, masalah serius ini benar-benar menyergap kita, dan itu menunjukkan betapa rendahnya kecerdasan literasi kita.
Persoalan mengenai literasi di negeri ini sudah tidak asing terdengar. Problema ini sudah sejak lama berlangsung tanpa ada perubahan yang signifikan. Dilansir dari beberapa data dan fakta yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia jatuh dalam kategori dari deretan 10 negara yang rendah dalam literasi. Mirisnya, meskipun 95% penduduk indonesia bisa membaca. Ini benar. Tapi jika dilihat angka ini saja, maka kita tidak akan pernah bisa memahami masalah sosial di sekitar kita dengan lebih baik.
Mari tengok data yang ada, salah satumya dari World Banks Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018 lalu, ternyata kemampuan membaca dikategorikan menjadi 6 level, level paling rendah alias level 1, adalah kemampuan membaca 'yang hanya bisa baca'. Dalam artian, dia bisa membaca tulisan, mampu merangkai kata, paragraf, tahu judul, dan lain-lain, selesai. Level 2 mulai meningkat, dia sudah mampu memahami maksud kalimat, menemukan informasi dalam tulisan, mampu membuat kesimpulan sederhana. Level 3, level 4, hingga level tertinggi level 6, saat seorang pembaca bisa menghubungkan informasi, mengevaluasi tulisan, membandingkan, membuat sintesis dengan pengetahuan yang mendalam. Nah inilah level tertingginya.
Berdasarkan survei di seluruh dunia, data yang muncul, 55% penduduk Indonesia memiliki kemampuan membaca hanya di level 1, alias level paling rendah. Kita kalah telak bahkan dibanding dengan Vietnam. Jangan tanya dengan negara-negara maju, lebih kalah lagi. Data ini bukan satu-satunya, berdasarkan survei yang dilakukan Program For International Student Assesment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), hasilnya pun sama, mayoritas penduduk Indonesia memang 'buta huruf secara fungsional'. Adalah benar bahwa 95% penduduk Indonesia bisa baca, tapi itu hanya sebatas secara fungsional, kemampuan baca tersebut tidak berkembang.
Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,0001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang gemar membaca.
Riset bertajuk "World Most Literate Nation Ranked" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada dibawah Thailand (59) dan diatas Bostwana (61). Padahal dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada diatas negara-negara Eropa.Â
Selain itu, fakta lainnya juga menyebutkan, bahwa 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadjet dan menempati urutan ke-lima di dunia atas kepemilikan gadjet. Lembaga Riset Digital Rekening Emarketer memperkirakan pada tahun 2018 jumlah pengguna aktif smatrphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar ke-empat di dunia setelah Cina, India dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data dari Wearesocial per Januari 2017 mengungkap bahwa orang Indonesia mampu menatap layar gadjet kurang lebih 9 jam dalam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di dunia maya atau media sosial orang Indonesia berada di urutan ke-lima dunia. Juara deh ! Dan Jakarta-lah kota paling cerewet di dunia maya, karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun twitter yang berdomisili di Ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
Coba saja bayangkan, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadjet berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Jangan heran jika Indonesia menjadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoaks, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like, komen dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar yang tentu provokasi inilah yang akan memecah belah NKRI. Maka itulah yang menjelaskan banyak sekali masalah sosial di Indonesia hari ini. Kenapa begitu banyak hoaks berkeliaran, kenapa banyak orang yang berselisih, berseteru dan lain sebagainya. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Karena mereka memang bisa baca, tapi tidak berguna, kemampuan itu bukannya mencerahkan, malah membuatnya semakin keruh dan kusut, mereka hanya baca tulisan saja, tanpa mampu menarik makna dari apa-apa yang dibaca.