Menjadi perempuan memang berat ya, terlebih struktur masyarakat kita selalu mengait-eratkan perempuan satu dengan perempuan lain, atau bahkan mengomentari sisi kehidupan pribadi perempuan itu sendiri.
Perempuan mempunyai pengalaman yang sangat beragam dalam menghadapi berbagai peliknya persoalan hidup. Kompleksnya jalan cerita membuat saya akhir-akhir ini menyadari beberapa hal yang cukup krusial dialami oleh beberapa perempuan yang telah mencapai usia 25 tahun keatas.
Apa Makna Sukses?
Pendapat umum banyak mengklaim sukses itu bisa dilihat dari sisi materi. Saya tidak menyangkal pendapat ini. Ada banyak sekali teori kesuksesan yang bertebaran diluar sana, juga sering kita jumpai pada media sosial seperti Instagram dan Tiktok yang menyajikan konten perihal kesuksesan.
Selain sisi materi, sukses juga bisa diartikan sebagai keberhasilan pencapaian dalam hal tertentu. Sukses adalah proses -bagaimana kita berpikir dan bertindak-. Sedangkan "hasil" Â adalah bonusnya, hadiahnya. Ya makanya kita sering dengar petuah legendaris "hasil tidak akan mengkhianati proses".
Petuah ini bukan hanya rangkaian kata-kata yang dapat diambil artinya saja, tetapi juga dalam hal apapun manusia selalu dianjurkan untuk terus berikhtiar "menanam" agar bisa "memetik" Â buah yang ditanamnya.
Usia Bukan Patokan Untuk Menikah
Saya berusia 27 tahun saat menulis artikel ini, teman-teman yang usianya dibawah saya beberapa sudah menikah, dan teman-teman yang usianya di atas saya pun ada yang belum menikah. Apakah ini aneh? Tentu tidak. Hal tersebut sudah wajar terjadi di masyarakat. Hanya saja terkadang persepsi masyarakatlah yang menyudutkan perempuan.
Saya pernah ditanya seorang teman "kenapa kamu belum menikah?" Pertanyaan tersebut sebenarnya simple untuk saya jawab seperti "karena saya belum ada calon". Tetapi saya memilih untuk melempar pertanyaan lagi dengan "menurutmu mengapa perempuan 27 tahun belum menikah?" Dan akhirnya dia yang bertanya dia juga yang menjawab.
Saya mau ajak teman-teman flashback ke tahun 2018. Malam itu saya bersama teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) sedang mengobrol santai di Alun-Alun Brebes, dengan pola duduk yang melingkar, kami saling bertukar pendapat dan impian. Munculah pertanyaan dari salah satu teman saya "diumur berapa kalian akan menikah?" Kami bergantian menjawab, dan jawaban saya adalah di umur 27 tahun. Spontan seorang teman menyahut "loh, 27 nggak ketuaan?" Jujur saya agak terganggu dengan lontaran tersebut, tapi mari kita refleksikan dengan pelan.
Jika saya berpikir 27 tahun adalah usia yang tua untuk menikah, lalu ketika saya mencapai usia 27 tahun, mungkin saya akan stres dan cemas karena tidak kunjung menikah. Lalu bagaimana mereka yang di atas 30 tahun belum menikah?
Sebab itu, saya tidak berpikir demikian. Memang benar usia 27 tahun adalah target saya untuk menikah, kalaupun tidak terwujud di usia tersebut, tidak menjadi masalah bagi saya. Target itu, bisa tepat bisa tidak. Ini hanya soal cara pandang, bukan sesuatu yang layak untuk dipatenkan.
Perempuan mempunyai hak penuh dalam memilih jalan hidupnya, pun tentang pernikahan. Tidak ada yang berhak memprotes dan menyalahkan atas pilihan perempuan. Karena, dibalik pilihan, ada alasan.
Manusia Memiliki Keberuntungan Yang Berbeda
Setelah saya lulus sarjana, teman saya pernah mengeluh dan membandingkan "pengen jadi kamu, enak nggak ada beban kerjaan"
Mungkin dari teman-teman pernah juga ya mengalami hal serupa, mendapat curhatan dan membandingkannya dengan hidup kita. Yuk kita bedah dimana titik tumpunya.
Teman saya ini dia adalah pekerja kantoran yang notabene: berangkat pagi pulang sore, tiap akhir bulan harus closing, mencapai target, tapi..... gaji tetap, tunjangan ada, bonus bulanan ada, jarak rumah-kantor amat sangat dekat (5 menit sampai). Sementara, saat itu saya memutuskan untuk membuka toko baju, yang tiap harinya: berangkat pagi pulang malam, penjualan tiap hari tidak menentu, beban gaji untuk karyawan, cost belanjaan yang kadang nyicil dulu, dan jarak dari rumah-toko sekitar 20 menitan.
Orang luar hanya melihat kita dari sisi "enak" nya saja, padahal  dibalik itu kita semua mempunyai challenge and survival tersendiri. Semenjak itu, saya mulai belajar tentang arti sebuah resiko terhadap apa yang kita putuskan. Kita harus sadar betul kalau setiap pilihan yang kita jalani pasti mengandung resiko. Mau tidak mau kita harus terima karena bagaimanapun kita adalah lakon utamanya. Jadi, sangat tidak relevan rasanya sesuatu yang sejak awal berbeda dikaitkan dan dibandingkan.
Tertinggal Bukan Berarti Terlambat
Teman-teman pasti pernah mendengar kutipan "nggak papa telat daripada nggak sama sekali". Analoginya begini:
Kelas masuk pukul 07.30 pagi, dihari itu ternyata kita baru bisa bangun dari tempat tidur jam 07.00, sementara jarak tempuh rumah-sekolah membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Kita dihadapkan pada dua pilihan. Memilih untuk berangkat dan telat masuk kelas lalu dimarahi guru, atau memilih untuk kembali melanjutkan tidur dan mengorbankan ilmu yang seharusnya kita dapat di hari itu.
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa kita harus memilih opsi yang pertama. Telat masuk kelas dan dimarahi guru, lalu mendapat ilmu dari mata pelajaran di hari itu.
Tidak ada yang sia-sia bukan?
Kutipan ini memberi peringatan kepada orang-orang agar tidak berhenti berproses. Jika hidup adalah ajang perlombaan balap lari, pasti kita semua selalu merasa kalah. Sebab akan ada yang "lebih-lebih" didepan kita. Padahal dibelakang kita pun ada peserta lain yang memandang sama dengan apa yang kita lihat di depan kita. Namun pahitnya, hidup bukan perlombaan. Tidak ada yang menang, juga tidak ada yang kalah.
Akan ada yang "lebih" dari kita, bagai pepatah "masih ada langit di atas langit". Apakah kita harus selalu melihat keatas? Tidak. Apakah kita harus melihat kebawah? Iya. Posisikan dirimu di tengah-tengahnya. Jadikan motivasi penyemangat ketika melihat keatas, petik manfaat baik nya. Jadikan dirimu untuk lebih bersyukur ketika melihat ke bawah. Potensi, minat, bakat, dan kemampuan yang kita miliki tidak akan membawa kita pada "menang dan kalah". Ini bukan tentang perlombaan, tapi tentang siapa yang mampu memaknai hidup yang bukan sekedar nafas, makan, dan terlelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H