Sebenarnya berbelanja online sudah ada peraturan hukum yang mengatur dengan jelas yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur secara jelas mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha di Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Â
Keberadaan peraturan-peraturan di atas bertujuan untuk melindungi jalannya transaksi jual-beli secara online di Indonesia terutama untuk melindungi hak-hak konsumen yang sering diabaikan karena banyak sekali pemjual yang merasa lebih aman bertindak semena-mena kepada pembeli karena melakukan aksinya secara online.
Sebagai contoh kasus, Fredy Leoagni Nantama (26 tahun) warga Jalan Candimas 1 Kalipancur, Semarang, Jawa Tengah, mengadu ke polisi setelah menjadi korban penipuan ketika membeli telepon seluler iPhone 6 melalui situs Internet. Ponsel idaman tak kunjung datang tetapi dia malah dikirim lipstik mainan.Â
Dalam laporannya di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polrestabes Semarang, Fredy melaporkan seseorang bernama Sisilia atas dugaan penipuan. Dia mengaku uang Rp 4,2 juta sudah dikirim buat membayar iPhone 6 amblas. Setelah mencari tahu tentang spesifikasi ponsel pintar itu, Fredy langsung sepakat untuk membeli barang itu dari Sisilia.Â
Dia pun langsung sepakat mengirim uang lewat sebesar harga ditawarkan ke nomor rekening telah diberikan. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya Fredy menerima pesanan yang sudah dinantikan. Tetapi dia terkejut ketika membuka kotak pesanan karena malah berisi dua buah lipstik mainan.
Sebenarnya jika seorang konsumen melakukan transaksi elektronik melalui marketplace, e-commerce, ataupun online shop maka konsumen dapat menuntut haknya sesuai kebijakan marketplace, e-commerce, ataupun online shop tersebut. Konsumen dapat menuntut pelaku usaha untuk melakukan return (pengembalian barang yang tidak sesuai pesanan untuk diganti barang sesuai pesanan) sesuai kebijakan pelaku usaha maupun marketplace, e-commerce, ataupun online shop dimana transaksi dilakukan.Â
Apabila konsumen masih merasa tidak puas dan menginginkan tindakan tegas, maka konsumen juga dapat melakukan pengaduan terkait penyelesaian barang tidak sesuai pesanan sesuai hasil penyelesaian yang diinginkan konsumen, kepada :
- Kepolisian, apabila konsumen ingin pelaku usaha dikenakan sanksi pidana;
- Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), jika konsumen ingin mendapat kompensasi finansial;
- Pengaduan ke Lembaga Otoritas tertentu, jika konsumen ingin pelaku usaha dikenakan sanksi administratif (misalnya untuk konsumen obat dapat mengajukan pengaduan ke BPOM);
- Meminta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) mengajukan legal standing, jika konsumen ingin pelaku usaha menghentikan atau melakukan perbuatan tertentu (misalnya iklan misleading information);
- Jika konsumen ingin organisasi profesi mengajukan tindakan disiplin profesi, maka dapat mengajukan pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Profesi.
Dan jangan salah, hal tersebut sudah ada dasar hukumnya yang jelas mengatur mengenai hak konsumen untuk memilih penyelesaian sengketanya apabila merasa dirugikan. Hal tersebut lebih jelas diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 23 berbunyi :Â "Perlaku usaha yang menolak atau tidak memberi tanggapan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), (2), (3), dan (4) dapat digugat melalui BPSK atau mengajukan ke Badan Peradilan tempat kedudukan konsumen."
Pasal 45 ayat (1) berbunyi : "Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui Peradilan Umum."