Siang itu, selepas hujan deras mengguyur, seorang tetangga yang belum pernah ke rumah, bertandang hendak membesuk Ibu saya. Fisiknya yang sudah tidak muda lagi dan jalannya yang pelan, unuk-unuk, tidak menghalangi niat beliau untuk silaturrahmi.
Apalah arti pertemuan tanpa percakapan. Kami ngobrol ngalor ngidul membicarakan banyak hal. Sampai akhirnya beliau berstatemen:
“Ngesakne sampean, (gara-gara harus menemani Ibu), maleh ga iso kerjo” [Kasihan ya, kamu. Jadi tidak bisa kerja].
Reflek saya menyahut sambil memegang PC yang ada didekat saya:
“Kulo nyambut damel ten mriki” [Saya bekerja disini]
Beliau manggut-manggut. Dalam manggut-manggutnya, saya membaca bahwa beliau berada pada kondisi antara paham dan tidak paham.
Ya, bisa jadi beliau paham yang saya pegang itu komputer. Tapi tidak pahamnya tentang kerja apa yang bisa dilakukan dengan komputer dan hanya dilakukan dirumah saja. Saya tidak berusaha menjelaskan hal itu. Biarlah itu menjadi misteri untuk beliau. Saya malah fokus pada pernyataan bernada kasihan itu.
***
Statemen bernada kasihan itu bukan pertama kali saya dengarkan. Sebelumnya, telinga saya sudah sering menelan pernyataan bernada serupa.
Bisa jadi mereka berpikir, lha iya; masih muda, bertalenta dan pernah makan bangku kuliah di universitas ternama, akhirnya hanya tinggal dirumah saja. Tidak berkarir di luar rumah seperti halnya teman-teman sebaya. Kasihan kan, jadinya.
Respon yang saya berikan biasanya hanya senyuman dan jika situasi memungkinkan, saya jawab sewajarnya biar mereka tidak terjebak pada sikap kasihan yang salah paham.