Instagram, media sosial yang satu ini paling populer dikalangan remaja kisaran umur 18-24 tahun, platform berbagi foto ini diciptakan oleh Kevin Systrom pada tahun 2010, Kevin sendiri adalah lulusan Stanford University yang lulus pada tahun 2006.Â
dilansir dari tempo.co Indonesia adalah pengguna instagram terbesar di Asia pasifik, dengan total tidak kurang dari 700 juta pengguna aktif setiap bulan, dengan pengguna instastory 250 juta pengguna aktif setiap harinya. Instagram yang menawarkan fitur-fitur menarik seperti boomerang, swipe up, handsfree, hashtag berbasis lokasi, live, membuat Instagram menjadi semakin menarik penggunanya dan seakan membuat penggunanya tidak dapat terlepas darinya. Instagram juga merupakan platform dimana para penggunanya dapat mengekspresikan diri mereka melalui foto ataupun video yang mereka upload kedalamnya.
Dikutip dari KOMPAS.COM Instagram adalah media sosial yang berpotensi paling merusak kesehatan mental para generasi muda, hal ini disimpulkan dari hasil survei kepada 1500 remaja di Inggris yang dilakukan oleh Royal Society For Publik Health (RSPH) yang menyebutkan bahwa Instagram adalah platform yang buruk untuk kesehatan mental remaja, karena mereka hanya akan fokus pada diri mereka, dan ketika mereka melihat postingan dari akun lain yang lebih keren dari dirinya mereka akan merasa cemas dan kurang, alhasil, mereka akan terus mengedit foto yang mereka punya menjadi sesempurna mungkin dan itu membutuhkan waktu yang lebih untuk melakukannya.Â
Tak jarang diri mereka di dunia maya dan di dunia nyata benar-benar dua orang yang berbeda. belum lagi kecemasan itu muncul dari gengsi yang ditimbulkan dari berapa banyak follower yang mereka punya, semakin banyak follower yang mereka punya semakin bergengsi Ia, dan lagi hal ini membuat para penggunanya berlomba-lomba mengumpulkan follower sebanyak mungkin, dan membuat mereka minder ketika follower mereka sedikit, disadari atu tidak, hal ini juga akan menambah beban mental mereka dan tanpa mereka sadari juga mental mereka sedang terganggu akan hal itu.
Tidak hanya memberikan beban mental pada pengguna itu sendiri, Instagram juga seringkali dapat saling memberikan beban mental antara pengguna satu ke pengguna yang lain, karena para pengguna dapat bersuara dengan bebas, dapat melontarkan komentarnya kepada siapapun yang mereka kehandaki, munculah para hatespeecher yang dapat dengan mudahnya berkomentar pada akun-akun yang walaupun mereka tidak mengenal pemilik akun dengan baik, mereka dapat menghujat mereka, berkata buruk pada mereka, mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya pada mereka. Tidak peduli itu orang biasa, menteri, artis, atau bahkan presiden sekalipun mereka dapat melontarkan hatespeech yang terkadang hanya karena melihat postingan dari akun tersebut dan postingan tersebut membuat mereka merasa risih.
Video dibawah ini diambil dari salah satu youtuber yang termasuk salah satu dari creator for change dengan salah satu videonya yang membahas tentang hatespeech
Jadi di Instagram dan kebanyakan media sosial lain, orang yang tidak berpendidikan sekalipun dapat berdebat dengan orang yang berpendidikan, mereka dapat berkoar-koar semau mereka karena mereka berfikir ada tembok yang melindungi mereka, yaitu tembok perbatasan antara dunia maya dan dunia nyata, tembok itu sangat tebal dan mustahil untuk dihancurkan dan mereka bersembunyi dibalik tembok itu, memang benar bukan lidah mereka yang berbicara tapi jari mereka, sayangnya mereka tidak sadar kalau jari merekalah yang lebih berbahaya saat ini dari pada lidah mereka, mungkin itu hal yang menyenangkan bagi mereka memberikan komentar negative pada akun yang tidak mereka sukai dan sesaat setelah komentar itu terkirim, sesaat setelah mereka menutup HP mereka, mereka akan lupa akan apa yang mereka tuliskan tanpa rasa tanggung jawab, tapi apa yang diperoleh sang pemilik akun? beban mental yang berat, tak jarang komentar tersebut mempengaruhi kehidupan mereka di dunia nyata sampai beberapa hari bahkan minggu, komentar-komentar tersebut menunjukkan seakan mereka telah melakukan tindakan kriminal yang berat dan tidak akan terampuni, padahal belum tentu orang yang mereka lihat difoto tersebut seburuk seperti apa yang mereka pikirkan, buktinya pada eksperimen yang telah dilakukan oleh Gita Savitri Devi di video tersebut membuktikan bahwa ketika mereka dipertemukan dengan orang yang mereka anggap buruk di sosial media mereka sadar bahwa orang tersebut tidak seperti persepsi yang mereka buat secara sepihak dan sekilas tanpa analisis dan tanpa mengetahui latar belakang mereka.
Hal tersebut sangat memprihatinkan, jika seperti ini pepatah "Don't judge a book from the cover" sangatlah berguna untuk dilontarkan, tetapi pepatah tersebut sepertinya telah dilupakan, tanpa kita sadari tembok dunia maya telah sedikit demi sedikit membuat para penggunanya melupakan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh para nenek moyang bangsa Indonesia untuk menghormati satu sama lain, untuk berakhlak yang baik kepada orang lain dan ajaran berbudi pekerti luhur yang lain, nyatanya hal tersebut bukanlah hal yang klise dan hanya dianggap pelajaran anak SD, hal tersebut sangat membentuk kepribadian kita dengan baik.Â
Sayangnya hal tersebut jarang dimiliki para hatespeecher, yang ada para hatespeecher semakin senang bersembunyi dibalik ketiak dunia maya seakan akan ketika mereka tidak suka akan karya seseorang mereka akan membunuh orang tersebut dengan komentar-komentar mereka. Maka dari itu berkomunikasi dengan baik adalah jalan keluar yang paling baik, memilah hal yang baik dan buruk sebelum melontarkan komentar adalah tidakan yang bijak, dengan tidak menjadi hatespeecher, menjadi pengguna media sosial yang baik, memberi manfaat kepada sesama, bukankan itu lebih menyenangkan hati?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H