Seorang pemuda berseragam SMA melintas. Langsung aku teringat emak. Di tengah ketidakpastian pekerjaan, emak tetap menyuruhku sekolah. Teman-teman sepantaranku mengamen, emak memaksaku mencari ilmu. Ia rela melakukan apa saja demi aku, termasuk menjadi... lupakan. Aku sungguh tak ingin mengingatnya. Emak menyimpan rapat-rapat rahasia pekerjaannya. Menginjak usia empat belas, emak mulai sakit-sakitan. Empat tahun kemudian, di hari kelulusan SMA, seorang tetangga naik tergopoh-gopoh ke atas panggung. Padahal waktu itu aku sedang menerima penghargaan siswa berpestasi.
"Emakmu Dir... emakmu!"
"Emak kenapa?" wajahku memerah. Aku menjadi tontonan seisi sekolah.
"Emakmu... kamu harus pulang!"
"Tapi..."
Tetanggaku menyeretku turun, tangannya yang kekar mencengkeramku menyusuri jalanan. Aku malu. Marah. Tak alang kepalang. Apa yang diinginkan emak sampai sebegitu teganya mengacaukan hari istimewaku? Begitu sampai rumah, semua rasa itu menguap sudah. Aku melihat emak terbaring kaku. Jarit usang menyelimuti tubuh kurusnya. Seorang kerabat berdiri di sebelahnya, menatapku iba.
"Emakmu meninggal karena AIDS,"
Pemandangan di depanku semakin jelas. Anak-anak... ya Tuhan... anak-anak! Di kejauhan, aku meliha Barta dan Rudi sudah memulai tugas mereka.
Kukepalkan tangan. Kumantapkan langkah kaki. Kutegarkan hati.
Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, para emak, para bapak, anak-anak. Aku mulai mendatangi rumah demi rumah. Memberi kabar akan ada penertiban.