Mohon tunggu...
Sofi YR
Sofi YR Mohon Tunggu... -

Writing is my passion.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petugas Penertiban

22 Agustus 2012   02:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berdiri di pinggir rel kereta api. Dua orang temanku sedang sibuk menyiapkan surat-surat di tas mereka. Terik yang menyengat membuatku bermandi keringat. Sementara kutenggak air putih untuk mendinginkan badan, kenanganku mulai berputar-putar.

Waktu aku kecil, emak sering mengajakku menikmati senja melihat kereta.
"Kalau sampai saat ini belum ada palang otomatis dan bapakmu masih hidup, jasanya sangat dibutuhkan di persimpangan jalan sana," itulah kalimat yang selalu diucapkan emak. Sambil menyeduh teh panas dan singkong goreng, emak mulai bercerita tentang bapak. Cerita yang sama setiap harinya, cerita yang tak pernah bosan aku mendengarnya.

Rumah kami terletak di bantaran rel kereta. Acapkali terdengar suara khas kereta, kami anak-anak kampung keluar dari kolong tempat persembunyian. Petak umpet terlupakan. Kaki-kaki kami yang kurus dan penuh sekrup berdebum di antara rerumputan kering musim kemarau, membuat debu-debu beterbangan. Sekejap saja kami sudah berbaris rapi bak pager ayu menyambut tamu. Kereta lewat. Kami berlompatan. Tangan kami terangkat, melambai-lambai pada penumpang yang tersenyum lewat jendela kaca. Kalau ada yang mengabadikan kelucuan kami dengan kamera, kami senang bukan kepalang. Berasa sudah menjadi artis saja.

Suatu hari seorang berseragam datang ke kampung kecil kami. Anak-anak langsung mengerubutinya. Ia terus berjalan acuh tak acuh, mendatangi rumah demi rumah, sementara aku dan teman-temanku mengekor pandangan padanya. Aku tak tahu apa yang ia lakukan. Ketika aku pulang, aku melihat emak tengah tersungkur di ruang tengah. Ia menangis, memeluk foto almarhum bapak. Orang tadi melukai emak? Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Kusman teman dekatku menggedor pintu.

"Dir, sini!" katanya. Aku beringsut keluar. Wajah kusut Kusman menyambutku.
"Emakmu sedang apa?" ia bertanya kebingungan.
"Emakku sedang menangis," jawabku sama bingungnya.
"Emakku juga, waktu aku tanya kenapa, emak malah menyuruhku keluar. Aku tidak boleh mengganggunya berkemas. Aku takut dia akan meninggalkanku,"
"Apakah orang berseragam tadi yang menyakiti emak kita?" tanyaku ragu-ragu. Kusman menggaruk rambut jagungnya.
"Mungkin," ia bergumam lamat-lamat.
Kami saling tatap. Kebisuan menggantung di langit-langit rendah beranda rumah. Tiba-tiba seolah paham pikiran satu sama lain, aku dan Kusman berlari menyusuri pinggiran kampung. Mengambil apa saja yang kami temukan di jalan. Entah batu, entah kayu. Kami harus menghajar habis orang itu! Berani-beraninya membuat emak kami menangis!
"Terakhir aku melihatnya di rumah Mpok Hindun..." Kusman terengah-engah mengatur nafas. Rumah Mpok Hindun terletak paling ujung. Paling dekat dengan rel.
"Itu dia di seberang sana!" kataku. Tanpa pikir panjang, Kusman menarikku menuju rel kereta. Padahal saat itu...

Bukk!

Aku terantuk batu. Tersungkur. Debu-debu beterbangan menyergap hidung dan mataku. Aku terbatuk-batuk, mataku pedih.
"Kus? Kusman?" suaraku hilang ditelan deru kereta yang lewat di depanku. Aku bangkit. Kusman tidak di depanku, tidak juga di seberang rel kereta. Orang berseragam itu masih berdiri di sana, ia justru nampak gentar. Seluruh badannya gemetar. Pucat pasi.
"Bapak lihat teman saya?" tanyaku begitu sampai di sana. Aku melupakan niatku menghajar orang berseragam itu. Gemetar, orang itu menunjuk suatu tempat beberapa meter di depan sana. Terkapar di atas rel, aku melihat Kusman dengan kondisi yang... Ya, Tuhan! Seluruh tubuhku lemas. Persendianku lepas. Aku tersungkur lagi. Tangisku pecah. Duniaku mendadak berselimut kabut. Berpagar sunyi. Ketika orang-orang berdatangan, tua, muda, anak-anak, tempat menjadi riuh. Aku tak merasakan apa-apa, tak mendengar apa-apa. Aku terus menangis entah sampai berapa lama.

"Bergegaslah!" Barta, salah satu temanku, mengejutkanku.
Aku bergeming.
"Apa lagi yang kau tunggu? Aku tengah, kamu utara, Rudi selatan!" katanya lagi.
Aku menatap Barta tak berdaya. Mataku terasa panas. Kenangan demi kenangan menjelma gelembung-gelembung karbondioksida yang menyesakkan dada.
Kulempar pandang ke rumah-rumah triplek, rumah-rumah anyaman bambu, rumah-rumah ala kadarnya, di sepanjang bantaran kereta. Aku melihat ibu-ibu yang mengangkat jemuran. Aku melihat anak-anak yang berlarian. Aku melihat diriku sendiri di masa lalu.

Betapa aku dulu ingin menghajar orang berseragam yang membuat emak menangis, betapa aku merasa begitu benci pada orang itu, yang rupanya petugas penertiban, karena kedatangannyalah asal-muasal kecelakaan naas Kusman.

Orang itu diutus pemerintah untuk menyampaikan kabar pengusiran kami, dari tanah kelahiran kami, dari surga kami. Mengirim kami ke kolong-kolong jembatan, ke emperan toko, ke bantaran sungai, yang suatu hari nanti juga akan didatangi petugas penertiban. Aku masih kelas dua SD saat itu. Tak tahu apa-apa selain kesedihan kehilangan teman.  Hari berikutnya, setelah pemakaman Kusman,  kala senja menggelincir pergi, aku berjalan mundur meninggalkan kampung kami. Dalam hatiku terbesit janji, entah bagaimana caranya, suatu hari aku pasti datang lagi.

"DIRGA!" sentakan Barta membuat lamunanku berantakan. Beberapa orang menoleh kaget.
"Kamu mau mulai kerja nggak?" laki-laki berperawakan seram itu mencengkeram kerah bajuku. Wajahku pucat pasi.
"Apa-apaan kamu ini?" tanya Barta lagi.
Aku mencoba mengendurkan cengkramannya, mengatur nafas, menata hati.
"Ini tekanan mental buatku," kataku terpatah-patah.
"Tekanan mental apa lagi? Ada-ada saja kamu ini!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun