Mentari menyibak hari. Tak terasa aku sudah sekolah di tingkat lanjutan. Mencari-cari jati diri sendiri. Namaku berganti sejak pertama menginjakan kaki di kabupaten. Riuh ramai kabupaten terasa asing dan memuakan. Menggerutu dan mengutuk diri adalah keseharian yang terpaksa kujalani. Meski kata ibu jangan khawatir.Â
Selayaknya somah, ibu memang besar baktinya pada pak Lurah. Sampai-sampai anak semata wayangnya ia relakan ke kabupaten untuk pengganti anak pak Lurah yang enggan bersekolah. Pak Lurah dan istrinya pun tidak ingin berpisah dengan si Sulung pewaris takhtanya.
***
Awal-awal bersekolah aku duduk paling belakang. Takut-takut dengan semua kebaruan yang ada. Para anak-anak lurah dari penjuru kabupaten bersekolah disini. Tidak banyak jumlahnya karena sama dengan anak lurahku, orang-orang enggan untuk menyekolahkan anaknya di kabupaten.Â
Setiap berpapasan dengan teman aku minder. Selain gaya berpakaian dan sifat yang berbeda, aku takut jika ada satu diantara mereka yang mengajakku bicara bahasa Belanda. Takut ketahuan aku tidak bisa. Jika itu terjadi bukan hanya aku yang malu. Tapi aku juga mempermalukan pak Lurah.
Jujur saja saat aku tak sengaja mendengar politik balas Budi yang dibincangkan pak Lurah dengan teman sesama lurahnya. Aku tidak mengerti.Â
"Je hebt geluk zoon," ujar salah satu Meester saat bulan kedua aku bersekolah. Aku mengerutkan dahi. Tak mengerti betul apa yang dikatakannya. Namun, Beruntung? Apanya yang beruntung dari seorang anak pembantu yang disekolahkan Lurahnya.
Kata-kata ini baru terasa saat tahun kedua aku belajar di Hollanddsch-Inlandsch School atau orang-orang menyebutnya sakola kabupaten. Kehidupan baru dan mengenal banyak hal ternyata mengasyikan juga. Bahasa Belanda ku sudah semakin lancar tidak ada lagi minder karena bahasa. Meski awalnya sering diledeki tapi akhirnya aku bisa juga menaklukkannya.
Setelah lulus, aku melanjutkan kembali sekolah ke HBS. Pak Lurah berbaik hati mengirimku untuk melanjutkan sekolah. Karena sang anak masih enggan untuk berpisah dengan keluarga.
'Je hebt geluk, zoon' yang pernah dilontarkan Meester benar adanya. Terlebih saat aku duduk di HBS hatiku tertambat dengan salah satu keluarga bupati. Satu-satunya gadis cantik  yang lugu itu membuat duniaku teralih. Tutur bahasa Belanda disetiap jam pelajaran membuatku semakin terpesona. Senyum khasnya membuat hati semakin tertambat. Duhai, cantik nian dikau Dinda.
Namun, sang puan harus berhenti sekolah karena dianggap semakin membangkang pada tradisi keluarga. Meski aku yakin faktor utamanya adalah para lurah dan bupati lain yang sering mengejek bupati karena menyekolahkan keponakan perempuannya.
Tahun berganti tahun. Setelah kepergian sang puan mau tidak mau aku tetap harus menjalani kehidupan sekolahku. Warna-warni hidup dan terbukanya cakrawala membuat diriku semakin terbuka.Â
Hari ini 'Je hebt geluk zoon' terbukti kembali. Meski dalam bentuk lain. Belum sampai aku lulus dari HBS, pengumuman Belanda sudah membuat pak Lurah frustasi. Surat yang dikirim untukku benar-benar membuat dilema.Â
Dalam suratnya pak Lurah menulis bahwa aku mau tidak mau harus berhenti sekolah. Atau minimal tidak menerima jika ada tawaran untuk menggantikan posisi bupati yang dipegangnya. Dengan cara apapun bagi pak lurah hanya anaknyalah yang berhak meneruskan tongkat estafet kuasanya.
Aku jadi teringat cerita ayah temanku. Katanya sewaktu masih bersekolah sang ayah selalu mengingatkan bahwa jika anak dan bapak hanya memiliki pengetahuan yang sama maka sang anak jangankan melebihi, untuk setara saja akan lebih sulit dari sang ayah.
Mengapa begini? Ya karena mau tidak mau zaman itu berubah. Seperti kata Meester di HBS bahwa yang tidak berubah di dunia ini hanyalah perubahan itu.
***
Dilema akhirnya benar-benar menghampiri. Ketentuan Belanda yang mengharuskan para bupati, lurah dan sistem birokrasi Hindia Belanda minimal adalah lulusan sekolah membuat pak lurah benar-benar ketar-ketir. Beberapa kali aku diingatkan agar tidak berurusan dengan pihak Belanda. Hal ini lebih bertujuan mereka tidak ingin aku diangkat jadi pejabat. Mereka tidak ingin aku setara. Mereka menganggap aku tidak pantas.
Akhirnya tawaran itu benar-benar terjadi. Aku diangkat menjadi juru tulis untuk kemudian aku dipercaya untuk jadi lurah disalah satu wilayah terdekat. Senang sekaligus dilema karena tidak mau juga mengecewakan pak Lurah. Namun ini juga salah satu jalan agar aku bisa kembali mendekati sang puan keluarga bupati.
***
Setelah menjadi lurah aku menikah dengan sang puan. Adinda pemilik bola mata indah. Sekaligus genderang sindiran dan ujaran kebencian seakan ditabuh tanpa ampun masuk ke telingaku. Ibu-ayahku sudah tidak bergantung pada pak Lurah sekarang.
Meski begitu, satu hal yang aku baru sadar, 'Je hebt geluk zoon' yang pernah dikatakan Meester benar-benar terbukti. Keberuntungan yang dimaksud adalah setiap benefit dari ilmu. Benar saat orang tua sering bilang, 'Elmu mah teu berat dibabawa.' Tapi manfaatnya mengalir, keberuntungan-keberuntungan muncul disaat-saat tak terduga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H