Dunia historiografi saat ini memang sangatlah luar biasa. Banyak intelektual yang mencurahkan karyanya melalui jalur penulisan sejarah. Salah satunya adalah profesor Azyumardi Azra. Beliau merupakan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang keluasan intelektualnya sudah tidak terbantahkan lagi. Sejarawan lulusan Colombia University ini benar-benar mengabdikan hidupnya dalam bidang intelektual. Bahkan hari-hari terakhirnya ia habiskan saat akan mengisi seminar di Malaysia.Â
Begitu pula semasa hidupnya yang memang terkenal dalam menelurkan karya-karya yang luar biasa. Sampai pada tahun 2002, Penerbit Mizan di Bandung memberinya penghargaan sebagai penulisa paling produktif. Intelek yang lahir pada tanggal 4 Maret 1955 ini bahkan merupakan orang pertama yang mendapat gelar Sir atau Lord di Indonesia. Gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan langsung oleh Kerajaan Inggris atas kontribusi positifnya bagi keilmuan dunia. Azra merupakan seorang sejarawan yang namanya sudah tidak asing didengar.Â
Beliau merupakan putra bangsa yang memberikan kontribusi lebih dalam penulisan alur sejarah khususnya sejarah Islam Indonesia. Melalui karya disertasinya yang berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastren and Malay Indonesia 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, Azra menulis mengenai jaringan ulama Timur Tengah dan Indonesia. Buku ini melahirkan temuan baru, dimana sebelumnya Indonesia dan Timur Tengah dianggap hanya memiliki hubungan dagang saja.Â
Dalam menulis ini, Azra lebih banyak menggunakan sumber-sumber lokal berupa bahasa Arab dan bahasa daerah yang jarang disentuh oleh para sejarawan lainnya. Kehadiran Azra dan karyanya telah memberikan warna baru dan kehidupan baru bagi perkembangan intelektual di Indonesia. Khusnya dalam bidang sejarah Islam sendiri. Berbeda dengan Hamka, tulisan-tulisan Azra lebih fokus ke masa-masa perkembangan Islam menuju kontemporer. Selain itu, tulisan Azra juga memiliki ciri tersendiri jika dibandingkan Kuntowijoyo yang lebih mengarah pada sejarah sosial dan wong cilik.Â
Meski begitu, tulisan ketiganya sudah dikategorikan kedalam historiografi karena memang isinya sudah bersifat holistik serta ditulis secara komprehensif. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII ini membagi hubungan Indonesia dan Timur Tengah kedalam tiga tahapan penting. Tahapan pertama adalah hubungan yang bersifat ekonomi. Dimana saat itu merupakan awal kedatangan orang-orang Timur Tengah ke Indonesia yang didominasi oleh para pedagang.Â
Kedua adalah tahapan hubungan keagamaan-politik yang mana saat itu Islam sebagai agama yang baru sudah mulai menyebar dan berakar kuat. Bahkan dalam tahapan ini telah berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang sudah melakukan hubungan politik dengan kerajaan di Timur Tengah seperti Turki Utsmani. Tahap ketiga masuk ke ranah yang lebih jauh lagi. Hubungan Indonesia dan Timur Tengah telah memasuki hubungan intelektual yang saling mempengaruhi. Bahkan beberapa ulama Indonesia telah memberi warna tersendiri dalam percaturan keilmuan ini.Â
Jaringan Ulama antara Indonesia dan Timur Tengah ini menurut Azra telah menghasilkan sintesa baru yang dinamai 'Neo-Sufisme' yang lahir dari tradisi-tradisi kecil yang sebelumnya dibawa oleh para ulama dalam jaringan ini. Dibanding dengan membuat corak baru, neosufisme ini lebih cenderung merupakan hasil rekonsiliasai antara tasawuf dan syariat serta masuknya ulama-ulama kedalam tarekat. Neosufisme ini cenderung memperbarui faktor-faktor asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan cara mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf populer yang menyimpang.Â
Neosufisme ini lebih menekankan pada rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim. Meski begitu perlu diperhatikan bahwa tasawuf tidak benar-benar tercabut dari akarnya. Karena memang masih ada beberapa ulama yang masih kental sisi tasawufnya. Perbedaan tasawuf dan syariat yang cukup mencolok hingga adanya neosufisme ini merupakan suatu pembelajaran bagi kita. Dimana para ulama saja yang keilmuannya sudah sangat luar biasa lebih banyak melakukan pendekatan-pendekatan tradisonal dalam skala kecil namun berdampak.
Jiwa ingin menang sendiri benar-benar disingkirkan. Cukuplah hal ini menjadi pegangan bagi kita untuk tidak saling tuduh dan saling menyalahkan. Bukankah sintesa tasawuf dan syariat yang kemudian lebih dikenal dengan neosufisme merupakan jembatan antara kedua perspektif untuk terus mengembangkan keilmuan mereka serta terus menjaga jaringan intelektual yang sangat luar biasa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H