Mohon tunggu...
Sofiatrith
Sofiatrith Mohon Tunggu... Psikolog - -----

-----

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Aktivitas Psikologi Forensik

23 Mei 2014   22:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Karena psikologi klinis sering dianggap sebagai ahli dalam perilaku, tidaklah mengherankan kalau mereka dianggap ahli yang dapat memberikan keterangan tentang perilaku apa pun yang bersangkutan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan polisi, jaksa, hakim dan lain-lain. Kemudian pemahaman ini berkembang menyangkut segala perilaku yang berhubungan dengan masalah-masalah masyarakat, criminal, atau pngadilan administrative. Selanjutnya masalah-masalah demikian menjadi domain psikologi klinis, dan sekarang disebut psikologi forensic.

Psikologi forensic merupakan penerapan metode, teori dan konsep psikologi terhadap system hukum (Wringhtsman, Nietzel dan Fortune, 1998). Bidang psikologi ini mula-mula dikembangkan berdasarkan pikiran seorang ahli, yang bisa juga disebut sebagai Bapak Psikologi Industri dan Organisasi, lulusan Laboratorium Psikologi Leipzig yang didirikan dan dipimpin Wilhelm Wundt.

Perkembangan psikologi forensic telah mendorong psikolog ke dalam banyak peran, yang terutama adalah sebagai saksi ahli. Aktivitas utama psikologi forensic yaitu

1.Saksi ahli

Saksi ahli adalah saksi yang memberikan pendapat, penilaian, atau kesimulan mengenai suatu perkara atau suatu atau beberapa kejadian dari perkara. Misalnya, dalam psikologi seorang saksi psikologi forensic diminta untuk mengajukan pendapat, apakah pelaku kejahatan memiliki kondisi emosional atau psikologis lainnya yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbatannya atau tidak, karena misalnya dinyatakan terganggu secara psikologis.

2.Kasus-kasus criminal

Bergenerasi-generasi masyarakat mempertanyakan cara terbaik untuk menangani orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran undang-undang criminal tetapi yang demikian terganggu pada saat yang sama, sehingga masih diperdebatkan apakah mereka secara pribadi bertanggung jawab. Juga sukar untuk membuat keputusan a[akah seorang terhukum benar-benar kompeten untuk mengerti peraturan pemasyarakatan dank arena itu bersama mempertahankannya.

3.Dalih ketidakwarasan

Kalau terhukum adalah seorang yang normal secara kejiwaan, maka jelas aturan hukum dapat diberlakukan kepadanya, baik hanya denda, kekurangan, atau masa percobaan. Tetapi kalau hukum itu adalah orang yang secara mental tidak normal. Maka masalahnya tidak bisa dengan sendirinya menggunakan apa yang telah ditentukan. Ia harus mendapat perlakuan khusus, karena dianggap tidak mempu bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Namun, setiap kasus tidak begitu mudah untuk disebut dapat bertanggung jawab tau tidak, melainkan tampaknya berada diantaranya. Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau hukuman ditentukan bats minimal dan maksimalnya atau bahkan hanya untuk ditentukan batas maksimalnya saja.

Istilah yang sering digunakan dalam lingkungan kehakiman adalah “kegilaan” atau “ketidakwarasan” untuk insanity, suatu istilah yang tidak dikenal dalam psikiatri maupun psikologi. Bagi para penegak hukum, yang penting adalah apakah yang bersangkutan rasional, dalam arti yang bersangkutan mengerti bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang salah, meskipun alasannya sangat bermacammacam, dan apakah perbuatan itu ditujukan untuk keperluan tertentu. Kalau irasional, maka disebut tidak waras, tidak dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, karena itu harus ditangani secara lain, ialah dalam perawatan psikiatris/psikologis, bukan berupa kurungan. Pada kenyataannya saat ini, adalah bahwa kebanyakan psikolog tidak sependapat bahwa semua perilaku normal dipilih secara rasional.

Untuk melakukan evaluasi tentang ketidakwarasan (insanity) criminal, psikolog harus memastikan apakah orang tersebut mengalami gangguan atau kelainan mental, dan bagaimana status mental orang tersebut saat melakukan kejahatan. Untuk itu pemeriksaan akan dilakukan sangat meluas dengan banyak akses, termasuk riwayat hidup dan keadaan keluarga sejak kecil, intelektualitas dan kompetensi untuk menghadapi keadaan sebagaimana waktu peristiwa itu terjadi, kondisi neuropsikologis, kepribadian, sampai menelaah apakah orang itu menipu atau berpura-pura (malingering) (Blau, 1998).

4.Kasus-kasus perdata

Banyak hal terkait dengan perhatian seorang psikolog forensic, dari masalah-masalah merek dagang sampai gugatan masyarakat (class action). Dua area yang paling penting untuk psikolog forensic, ialah penahanan atau pembebasan dari institusi-institusi perawatan mental dan masalah-masalah domestic  seperti hak asuh anak dalam kasus perceraian sumai-istri.

American Psychological Association, 1994, mengajukan tiga masalah yang dapat menjadi acuan, yaitu kebutuhan psikologis dan perkembangan anak, kekuatan dan keterbatasan ibu dan ayah masing-masing, dan cara setiap anggota keluarga saling berinteraksi.

5.Hak pasien

Jadi pasien memiliki hak konstitusional untuk mendapat penanganan hingga sembuh atau setidaknya bertambah baik. Juga pasien mempunyai hak untuk memiliki lingkungan hidup yang standar, pakaian, dan kegiatan pribadi, berolahraga dan kegiatan social tertentu, dan dilarang mengikuti kerja paksa, sedangkan kalau bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang wajar.

6.Memprediksi bahaya

Memprediksi berbahaya atau tidaknya pasien menuntut kemampuan diagnostic tersendiri, yang cukup mandalam. Prediksi ini lebih sulit daripada sekedar menegakkan prognosis yang hanya menentukan apakah seorang pasien mempunyai peluang sembuh yang sedikit atau banyak, membutuhkan waktu yang sedikit atau banyak.

Meskipu psikologi menganggap bahwa penentuan ini merupakan penentuan sulit, tetapi tidak ada ilmu yang lebih dapat membuat ramalan daripada psikologi, sehingga kepada psikologlah hal tersebut disandarkan. Kedudukan hal ini kira-kira sama dengan fungsi psikolog di rumah sakit atau masih memerlukan perawatan inap.

Masalah prediksi ini dianggap penting, selain dilihat dari kepentingan individual terutama berkaitan dengan keamanan dan keselamatan masyarakat lingkungan. Sementara itu factor-faktor di luar diri individu yang bersangkutan. Yang berperanan terhadap muncul atau tidaknya perilau kejahatan atau kekerasan pada individu, makin lama makin banyak dipengaruhi oleh situasi ingkungan yang sangat bervariasi, seperti misalnya tontonan televisi di rumah.

7.Penanganan psikologis

Secara hukum terdapat hak pada terhukum untuk mendapatkan penanganan atau rehabilitasi psikologis. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis maupun psikologis. Terdapat banyak implikasi penanganan forensic. Dalam kasus criminal, terapi dapat berfokus pada memperbaiki orang yang tidak kompeten menjadi seorang yang secara mental kompeten. Atau bisa juga terapi diarahkan untuk memberikan dukungan emosional untuk memasuki pemenjaraan atau justru meninggalkan penjara. Banyak narapidana yang memiliki masalah-masalah kepribadian, perilaku seksual, dan keagresifan. Namun terdapat juga permasalahan rumit ketika berhadapan dengan masalah internal keluarga. Permasalahan ini sering membawa persoalan pada dilema-dilema professional, misalnya untuk memberikan pertolongan terbaik pada anak, orang tua perlu mengikuti terapi terlebih dahulu, tetapi kadang-kadang salah satu di antaranya menolak.

8.Konsultasi

Kegiatan lain yang juga umum untuk seorang psikolog forensic adalah memberikan konsultasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun