Agar tubuh dapat berkembang dengan baik serta kesehatan tetap terjaga, mengonsumsi makanan penuh gizi dan nutrisi merupakan salah satu caranya. World Health Organization (WHO) menyebutkan, gizi dan nutrisi sama-sama memiliki peran yang baik untuk kesehatan tubuh serta pertumbuhan. Gizi adalah persediaan bahan-bahan atau makanan yang dibutuhkan organisme maupun sel-sel untuk bertahan hidup.
Mengingat gizi kurang merupakan salah satu prediktor perubahan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan. Maka dari itu adanya hubungan gizi dengan tubuh manusia, karena gizi merupakan zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Kesehatan tidak hanya untuk meningkatkan harapan hidup tetapi juga meningkatkan kualitas hidup. Makanan dan gizi dapat menjadi dimensi penting dalam pengukuran kualitas hidup.Â
Status gizi yang kurang atau berlebih akan mempengaruhi kualitas hidup. Gizi yang baik berarti tubuh memiliki cukup zat gizi untuk mempertahankan fungsi dan gangguan kesehatan, susunan makanan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, yaitu jenis kelamin, umur dan status kesehatan.
Tubuh seseorang jika tidak diatur dan diperhatikan dalam asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami kejadian yang tidak diinginkan salah satu contohnya seperti malnutrisi. Malnutrisi merupakan keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein, energi dan zat gizi lain yang dapat mengganggu fungsi tubuh. Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit.
Menurut Soekirman (2000), penyebab kurang gizi secara langsung adalah konsumsi makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi. Di samping konsumsi makanan dan penyakit infeksi, status gizi juga dipengaruhi oleh sosiodemografi, sanitasi lingkungan, dan pelayanan kesehatan.
Penyakit infeksi yang sering terjadi seperti diare, radang tenggorokan dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA dan diare terjadi pada anak balita karena sistem pertahanan tubuh anak rendah. Penyakit diare muncul karena air merupakan sumber penularannya (water borne diseases), kurangnya akses masyarakat terhadap air bersih atau air minum serta buruknya sanitasi dan perilaku higiene berkontribusi terhadap kematian 1,8 juta orang per tahun karena diare. Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan memperbaiki status gizinya.
Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan manusia. Di dalam Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat 3 terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi persyaratan, baik kualitas maupun kuantitas. Persyaratan kualitas ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 416/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air.
Air bersih merupakan kebutuhan hidup manusia karena di dalam tubuh kita 60 % membutuhkan air, terutama pada balita, berdasarkan hasil observasi peneliti lakukan masih banyaknya masyarakat yang tidak mendapatkan sarana air bersih yang memenuhi syarat kesehatan di mana di lihat dari kondisi lingkungan terutama pada kondisi tanah yang daerahnya terletak pada rawa yang menyebabkan air tidak memenuhi syarat secara fisik untuk di di jadikan sebagai air minum, serta ketersediaan air yang berkurang membuat ibu yang mempunyai balita kesulitan dalam memberikan air minum yang layak untuk di konsumsi, masyarakat beranggapan kalau air tersebut tidak menyebabkan terjadinya penyakit maka masyarakat beranggapan air bersih  tersebut layak untuk di konsumsi.
Pada penelitian Andriany F dkk (2017), menyebutkan salah satu contoh faktor higiene adalah kebiasaan cuci tangan yang juga merupakan faktor risiko stunting pada tingkat rumah tangga. Mencuci tangan dengan sabun adalah suatu aktivitas hygiene, yaitu kegiatan membersihkan tangan dengan air mengalir dan sabun agar bersih dan dapat memutus mata rantai kuman. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan waktu penting untuk cuci tangan pakai sabun sehingga menjadi kebiasaan, yaitu sebelum makan, sebelum mengolah dan menghidangkan makanan, sebelum menyusui, sebelum memberi makan bayi/balita, sehabis buang air besar/kecil, setelah kontak dengan hewan.
Referensi:
Adriany, F., Hayana, H., Nurhapipa, N., Septiani, W., & Sari, N. P. (2021). Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Pengetahuan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Puskesmas Rambah. Jurnal Kesehatan Global, 4(1), 17-25.
Hidayat, T. S., & Fuada, N. (2011). Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas Dan Status Gizi Balita Di Indonesia (Relationship Between Environmental Sanitation, Morbidity And Nutritional Status Of Under-Five Children In Indonesia). Nutrition and Food Research, 34(2), 223482.
Nursilmi, N., Kusharto, C. M., & Dwiriani, C. M. (2017). Hubungan Status Gizi dan Kesehatan dengan Kualitas Hidup Lansia di Dua Lokasi Berbeda. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Universitas Hasanuddin, 13(4), 369-379.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H