Mohon tunggu...
Sofia Pamela
Sofia Pamela Mohon Tunggu... -

architecture student, writing if it necessary, love outdoor activities like hiking-swimming-jogging, wanna try to learn cooking.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Obat

3 September 2011   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Fenomena ini bak bola salju. Tak terlihat di awal, tapi terus membesar. Meluncur ke hilir. Lalu melibas siapa saja yang berhadapan dengannya.

Bisa juga seperti vonis atas suatu penyakit yang sudah lama terdeteksi. Tetapi bertahun-tahun didiamkan. Bukan karena tak ada biaya berobat, melainkan karena vonis itu sudah menjadi keputusan akhir yang tak bisa dicabut kembali.

Gejala-gejala vonis sebenarnya belum amat terasa di awal. Namun pada pertengahan tahun, barulah vonis itu membayang-bayangi kemanapun pergi.Arena yang kami masuki ternyata memiliki tujuan ganda. Menawarkan peluang pada para konsumennya agar bisa mencapai tujuan akhir: profesi ganda campuran. Terdengar mulia, tapi nampak kosong.

Bagi beberapa konsumen yang kurang teliti dan akhirnya terkecoh, kata ‘pendidikan’ yang tersemat di label membuat mereka lalu bertanya-tanya. Tidak hanya nama, tetapi apa yang akan didapat dengan adanya tambahan kata itu. Apa yang ditawarkan.

Seperti obat, jika labelnya berbeda, tentu kandungan dan khasiatnya juga. Kini kandungan dari obat berimbuhan itu tak terasa telah diserap tubuh bertahun-tahun. Tapi walau meminum obat berkhasiat sama, terdapat efek samping yang berbeda bagi tiap pengguna.

Pertama, sebagian besar konsumen sadar atas apa yang diminum. Mereka terus meminumnya sampai habis. Sampai tubuh dirasa kuat dan bisa bertarung di arena kompetisi. Persoalan kalah atau menang di arena pertandingan nanti, belum sempat terpikirkan. Sebabnya, sibuk minum obat dan ingin segera menghabiskannya.

Ada juga yang meminum obat tersebut secara sadar tak sadar. Antara perlu dan tak perlu. Kemudian, didapati tak lagi minum obat tersebut. Mereka menghilang. Pergi ke apotek atau toko obat yang lain.

Golongan ketiga, sadar betul akan kandungan dan khasiat obat tersebut. Tetapi sebelum sempat habis meminumnya, justeru mengalami pusing-pusing dan sedikit kehilangan keseimbangan. Menjadi kurang yakin untuk terjun ke arena pertandingan di luar sana. Mereka ini yang paling sadar, sekaligus paling sial.

Akibat efek pusing-pusing berkepanjangan, ujung-ujungnya, saya minum obat seperlunya. Kalau sempat dan tidak lupa. Lebih sering kawan yang mengingatkan. Diam-diam mencoba bertahan hidup dari hisapan aneka vitamin. Saya jadi lebih suka minum vitamin. Rasanya manis dan segar. Saya suka khasiat vitamin ini. Katanya bisa berguna untuk mengondisikan tubuh. Supaya siap bertarung nanti. Tentu kalau obatnya sudah dihabiskan.

Akhir-akhir ini pikiran saya telah sampai pada kesimpulan: salah minum obat sedari awal atau kandungan dan takaran obatnya memang kurang tepat?Sebab, tak ada yang salah pada label atau nama. Nama cuma do’a. Kata ‘pendidikan’ yang tersemat itu sendiri sesungguhnya do’a yang paling hebat.

Keberuntungan sesungguhnya berpihak pada mereka yang menikmati tiap teguk dan menjadi sehat karenanya. Mereka adalah konsumen yang tak salah minum obat. Berita buruknya, jumlah yang beruntung ini tak lebih dari hitungan jari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun