Semarak Ayang-ayang gung
“Ayang-ayang gung” adalah salah satu lagu permainan anak-anak tempo dulu khas Jawa Barat. Yang biasa dinyanyikan mereka dengan suka cita ketika cuaca cerah di sore hari. Juga di pagi dan sore hari di pelataran rumah atau di tanah lapang, ketika anak-anak libur sekolah. Lagu tersebut biasa dinyanyikan oleh anak-anak laki-laki dan atau perempuan di perkampungan tatar Sunda.
Lirik lagu bahasa Sunda ini bermuatan pesan keprihatinan sekaligus kritik sosial politis pada zamannya. Seperti lagu-lagu permainan atau lagu dolanan pada umumnya, lagu permainan Ayang-ayang gung khas alami anak-anak yang dinyanyikan dalam pergaulan sehari-hari di dunia nyata, nyaris atau bisa jadi sudah tidak ada lagi. Lagu tersebut tergolong lagu lawas tempo dulu. Sementara jenis lagu permainan anak-anak sekarang sudah didominasi oleh lagu-lagu mutakhir dalam berbagai jenis genre atau ragam , baik di dunia nyata maupun jagat maya.
Popularitas lagu dolanan anak-anak masa lalu tersebut, bisa saja sudah sirna, namun makna nilai etika dan budi pekerti luhur juga filosofi yang melekat dalam jenis lagu demikian itu tetap hidup. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak akan berubah. Secara kontekstual tetap langgeng karena ada relevansi dengan perkembangan kehidupan manusia yang tidak pernah lepas dari kepentingan personal dan sosial kapan pun dalam meraih berbagai jabatan dan kekuasaan.
Lagu “Ayang-ayang gung” lebih dikenal sebagai genre lagu satire bernada ceria, yang menggambarkan kedekatan, keeratan dan keikatan hubungan kepentingan seseorang dengan penguasa dalam menempuh berbagai cara agar bisa menjadi pejabat. Yang dimaksud penguasa yang digambarkan dalam lagu tersebut adalah kompeni. Dalam KBBI pengertian kompeni ialah pemerintah Belanda zaman penjajahan di Nusantara pada pertengahan abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-19.
Para pejabat yang diangkat oleh kaum penjajah Belanda ketika itu dianggap sebagai penguasa yang berpihak dan mau bekerja sama dengan kepentingan penjajah, yang dibenci oleh masyarakat kebanyakan dan dianggap sebagai penghianat bangsa. Pejabat-pejabat yang dingkat oleh penjajah, konon umumnya menunjukkan penampilan dan sikap angkuh, pongah, ingin selalu dihormati dan dipuji-puji oleh masyarakat, serta sangat menjaga jarak, terutama dengan pribumi kalangan bawah. Sebaliknya kepada atasan mereka bersikap sebagai penjilat, sangat hormat dan patuh tanpa reserve atas segala perintah apa pun.
Kalau sudah duduk ?! lupa berdiri.
Kekuasaan beserta kewenangan yang melekat dalam berbagai jabatan, di institusi apa pun pada dasarnya adalah kepentingan sekaligus kebutuhan universal kehidupan manusia lintas budaya. Sejatinya bukan hanya terkait dengan kepentingan dan kebutuhan individual tapi juga sangat banyak sangkut paut dengan kesejahteraan hajat hidup masyarakat di bawah kekuasaannya. Dewasa ini dalam proses upaya untuk meraih sesuatu kedudukan dan kekuasaan, biasanya kepentingan dan kebutuhan masyarakat selalu menjadi tema sentral kampanye politik, untuk menarik perhatian calon atau para pendukungnya. Namun kalau sudah berhasil menjadi penguasa, seseorang atau kelompok orang yang terlibat dalam perebutan kedudukan dan kekuasaan seringkali lupa akan janji-janji yang dikampanyekannya. Tayangan kocak tag line atau slogan citra ( kamus Istilah Periklanan Indonesia, PT Gramedia Jakarta, Oktober 1996 ) dalam iklan perusahaan furniture lokal, yang sangat terkenal di tahun 90-an menyindir tajam mengenai fenomena yang terjadi dalam masyarakat: “Kalau sudah duduk ?! lupa berdiri”.
Pesta Demokrasi.
Rangakaian acara ketika menjelang dan pelaksanaan Pemilu legislatif dan atau eksekutif seringkali dianalogkan dengan suatu pesta demokrasi. Layaknya suatu pesta pada umumnya, peristiwa tersebut diselenggarakan secara meriah untuk menarik perhatian dan menghibur kedatangan para tamu. Pesta pun akan terkesan lebih semarak , jika menggalang keterlibatan dan dukungan para artis dan kelompok pemusik yang sejalan dengan pikiran dan kondisi emosi segmen masyarakat atau penggemarnya.
Sebelum merebak kelompok musik modern, pesta yang diiringi musik gamelan tradisional tentu sangat mendominasi berbagai acara pesta masyarakat tempo dulu. Dalam musik tradisional pun, keragaman nada gamelan mencerminkan kondisi-kondisi pada zamannya. Lagu Ayang-ayang gung mencerminkan keadaan masyarakat pada zamannya dan memiliki relevansi nilai-nilai norma etika dan kebenaran dalam perkembangan masyarakat sekarang atau yang akan datang dimana pun dan kapan pun.