Tidak hanya suhu udara di Indonesia yang terasa sangat panas dalam musim kemarau tahun ini, suhu politik juga cenderung meningkat, hampir setiap menjelang pesta demokrasi pilpres.
Salah satu penyebab utama suhu politik mudah memanas adalah kekuatan arus informasi para penguasa di semua lini dan sektor pemerintahan dan swasta di satu pihak dan kelemahan sistem pendidikan politik masyarakat pada umumnya di pihak lain. Â Opini-opini yang berkembang pada tataran peguasa bisa jadi juga pengusaha yang punya kepentingan besar agaknya semakin kuat. Mereka membutuhkan simpati dan dukungan dari lapisan masyarakat. Sementara tanggapan-tanggapan atau respon masyarakat yang umumnya dalam posisi lemah secara psikososial dan emosional relatif mudah terpancing serta terombang-ambing.
Kepentingan perorangan, kelompok dalam berbagai profesi, kedudukan, jabatan dan kekuasaan sangat dinamis. Status jabatan dan kekuasaan  yang melekat dalam insitusi apa pun seperti dalam partai, struktural lembaga pemerintahan dan perusahaan sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk meraih kepentingan politik sekarang dan atau yang akan datang. Adagium politik yang sering digunakan oleh para praktisi politik: tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan. Cara-cara demikian dianggap sebagai tindakan pragmatis para politisi.
Upaya meraih segala kepentingan seringkali dilakukan dengan  berbagai pendekatan dan segala cara, secara personal baik dengan individu-individu yang mempunyai pengaruh dalam mengambil keputusan strategis, maupun dengan kelompok-kelompok atau massa yang mudah dipengaruhi untuk mendukung segala gagasan dan harapan yang ditawarkan.
Untuk mencapai jangkauan target sasaran yang lebih  luas, orang-orang yang berambisi untuk menduduki jabatan tinggi dan strategis, banyak memanfaatkan perpanjangan tangan orang lain dan segala jenis media, baik media arus utama ( mainstream ) atau media alternatif lain, yang padat teknologi dan juga sumber dana yang besar. Hasil yang diraih  harus sesuai dengan harapan dan tujuan yang berkepentingan.
Tidaklah mengherankan segala upaya menarik dan menggiring perhatian atau  keputusan subyek masyarakat yang menjadi sasaran, bukan hanya sekadar memanfaatkan media konvensional, seperti baliho, spanduk dan banner. Media yang sarat teknologi super modern dan sangat canggih termasuk AI pun mulai heboh dengan konten-konten pesan yang tidak cuma hanya himbauan dan rayuan, tapi juga berbagai pesan yang mampu mengganggu kestabilan emosi dan ketangguhan adrenalin manusia. Bukan hanya sarat dengan janji-janji dan harapan realistis, tapi juga gagasan rencana dan program yang seringkali tidak bisa diterima oleh  nalar akal sehat manusia.
Konten-konten pesan, di berbagai kanal media sosial pun nampak  lebih agresif dan provokatif serta cenderung menghalalkan segala cara. Ujaran-ujarannya juga bukan hanya semata-mata ajakan dan rayuan, tapi juga banyak konten kebencian, ejekan, makian  dan kebohongan bahkan adu domba serta fitnah. Kepentingan pribadi, kroni maupun kelompok-kelompok  lain yang sedang berusaha berkuasa dan yang sangat ingin berkuasa, serta terus mempertahankan kekuasaan sangat terlihat kasat mata. Motif dan tujuan mereka mudah ditebak oleh pikiran orang-orang awam sekalipun.
Perilaku yang mengedepankan kepentingan politik pribadi dan kelompok semata-mata, umumnya cenderung mengabaikan etika, tatakrama dan nilai-nilai kesantunan bahkan ketentuan hukum yang berlaku dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sarana  jaringan internet dan penyediaan kuota atau pulsa pun menjadi kebutuhan dasar dan pokok harian yang harus dipenuhi untuk kepentingan penyebaran berbagai pesan. Layaknya kebutuhan untuk makan dan minum sehari-hari. Internet kuota dan pulsa di era digital dewasa ini seringkali menjadi alat pemuas dorongan kebutuhan naluri instingtif manusia untuk relasi dan interaksi manusia dimana pun dan kapan pun bahkan dengan siapa pun. Menjadi bisnis yang sangat pesat dan menjanjikan keuntungan cuan yang sangat besar.
Presiden Jokowi sendiri mengungkapkan keluhan sekaligus keprihatian mendalam tentang hilangnya kesantunan dan budi pekerti luhur bangsa Indonesia. Keprihatian ini diungkapkan dalam moment pidato resmi  kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2023. Pernyataan  ini bukan perkara curahan hati atau curhat tingkat personal. Bukan pula perkara ungkapan sepele, seperti curhatnya seorang remaja kepada sahabat atau kepada teman dekatnya. Bukan pula curhat emosional pribadi layaknya anak kepada ayah atau ibunya. Ini adalah keprihatinan tingkat tinggi yang disampaikan seorang kepala negara dengan serius kepada seluruh lapisan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri , yang tinggal atau bekerja di berbagai negara. Ungkapan keprihatinan tersebut diliput dan ditayangkan secara luas terutama oleh media arus utama, bahkan disebarkanluaskan pula oleh berbagai kanal di media sosial.
Tayangan resmi ini potensial pula ditonton dan didengarkan bukan hanya oleh tamu-tamu terhormat dan kehomatan yang langsung diundang untuk menghadiri acara resmi di istana negara tersebut. Meskipun ungkapan keprihatinan itu hanya sebatas sempalan di awal pidato  kenegaraan , namun ungkapan hati seorang kepala negara tersebut menyangkut langsung marwah, harga diri, citra dan reputasi bangsa termasuk lembaga-lembaga negara kita dalam berbagai bidang terkait, terutama  pendidikan, sosial, budaya, dan  politik.
Presiden pun mengutarakan perasaan sangat sedih, bahwa budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini, kelihatannya mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi sering digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini dipandangnya sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.