Di tengah riuh rendah, hiruk pikuk, gunjang ganjing, hingar bingar dan simpang siur pesan di jagat maya, istilah dialog di dunia nyata jarang terdengar. Dalam kebebasan berekspresi dan berkomunikasi yang hampir tanpa batas, istilah dan tradisi dialog pun menjadi langka dan asing ditemui lagi. Yang dominan muncul ke permukaan justru ujaran-ujaran caci maki, kebencian, kedengkian, ejekan, kebohongan, fitnah, permusuhan dan pertengkaran antar pribadi, kelompok dan atau berbagai kubu politik, bahkan antar sesama pemeluk agama yang sama.
Menurut laporan Civility, Safety and Interaction Online edisi ke-5 bulan Februari 2021 yang dikeluarkan Microsoft, Indonesia menduduki rangking 29 dengan nilai Digital Civility Index (DCI) 76, yang menunjukan tingkat keberadaban (civility) netizen Indonesia sangat rendah, di bawah Singapura dan Taiwan.
Keberadaban yang dimaksud dalam laporan ini terkait dengan perilaku berselancar di dunia maya dan aplikasi media sosial. Potret rendahnya keadaban netizen terungkap serupa dari penelitian yang dilakukan Egi Rizqi Fitri Ardiani, Ima Noviana, Anggi Mariana, Siti Nurrohmah tentang Kesantunan Berkomunikasi pada Media Sosial di Era Digital (2021).
Kesimpulan penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kesantunan dalam berkomunikasi di media sosial pada era digital di kalangan masyarakat masih sangat kurang (Dodo Murtado, Humas Kementerian Agama, Ketua Yayasan Kiai Ali, Jumat, 12 Mei 2023.13.35 WIB, kemenag.go.id)
Debat kusir, sopir atau mungkin pilot atau apa pun namanya sering terjadi tanpa kendali. Arah dan tujuannya juga kerap tidak jelas. Debat-debat dan komen-komen liar kadang kocak, sekadar nimbrung.Â
Tapi yang sering adalah debat yang diciptakan oleh perorangan atau sekelompok orang yang membuat pembaca, pendengar atau penonton media menjadi kesal dan jengkel karena tidak jarang sering menyerang yang mengarah ke urusan-urusan pribadi yang cenderung membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; pancingan emosi yang kasar dan tidak ada hubungan dengan pokok persoalan yang diperdebatkan.
Ungkapan dan tindakan provokasi yang marak terutama di media sosial berbagai kanal terkesan dibiarkan merajalela liar.
Dewasa ini liberalisasi komunikasi cenderung lebih kuat didasarkan pada parameter etika masing-masing individu. Dialog dengan diksi-diksi yang menyejukkan, menghibur dan saling menghargai pendapat agaknya hanya ada atau lebih banyak dalam drama-drama atau sandiwara, cerita pewayangan atau di panggung-panggung pertunjukkan saja ketimbang di dalam pergaulan nyata manusia sehari-hari.
Dialog sejatinya adalah ungkapan pikiran antar manusia yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk saling menyampaikan atau berbagi, mengingatkan, melengkapi dan meningkatkan pengetahuan atau pengalaman dalam upaya mencari solusi tentang suatu permasalahan yang dihadapi berbagai pihak. Dialog menuntut sikap kesetaraan, kebebasan, keterbukaan pengetahuan dalam berpikir dan pernyataannya.
Dinamika dialog pun menuntut semua hati dan pikiran manusia bersih dan jernih dengan emosi terkendali yang jauh dari tindakan-tindakan liar brutal. Agar semua pihak sampai pada kesepakatan yang diterima secara terbuka dan legowo atau ikhlas. Kesepakatan hasil dialog minimal bisa dipahami dan diterima oleh mayoritas orang yang terlibat dalam proses pemikiran dimaksud.