Mohon tunggu...
Sofiandy Zakaria
Sofiandy Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan PNS Badan Pengembangan SDM Dep. KIMPRASWIL/ Dep. PU. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ 1989-2022. Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta 2007-2022

Menulis ,Olah raga berenang dan jalan kaki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasca Puasa dan Kesalehan Sosial Berkelanjutan

9 Mei 2023   17:30 Diperbarui: 19 Oktober 2023   05:42 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puasa Ramadhan 1444 H usai sudah. Sudah dua minggu lebih ummat Islam memasuki bulan Syawal. Bulan yang sejatinya merupakan awal evaluasi, pemeliharaan dan peningkatan  segala amal saleh yang dilakukan selama  bulan Ramadhan yang lalu. Untuk kepentingan minimal satu tahun ke depan sampai dengan bulan suci Ramadhan yang akan datang atau bulan-bulan suci tersebut berikutnya.

Selama satu bulan kita bukan hanya sekedar menahan hawa nafsu makan dan minum. Tapi melakukan segala tindakan dan perilaku yang bermanfaat tidak  hanya untuk diri sendiri, juga buat orang lain yang membutuhkan perhatian dan kepedulian dalam berbagai aspek kehidupannya. Untuk masa sekarang dan akan datang. Hingga berbagai kesenjangan dan masalah antar manusia dapat terus dikelola dan diatasi secara berkelanjutan.

Esensi ibadah Ramadhan adalah penyadaran diri terhadap pentingnya merawat diri , mengelola emosi, meningkatkan iman dan imun tubuh, agar tetap bugar, sehat fisik, mental, sepiritual, dan sosial ( Muhbib Abdul Wahab,  uinjkt.ac.id, 28 Maret 2023 ). Pertanyaannya: sejauh mana kita selalu sadar dan mampu mengamalkan serta memelihara hasil puasa dalam hubungan yang bersifat pribadi dengan  Tuhan pencipta alam semesta, antar individu dan dalam kehidupan sosial pada umumnya.

Sejalan dengan pikiran tersebut, khatib shalat Jumat tanggal 14-03-2023 di masjid Al-Irfan Komplek Perumahan dosen UI Ciputat mengingatkan kita: ada 3 ( tiga ) karakteristik ummat manusia yang dianggap berhasil puasanya, yaitu kedermawanan, pengelolaan emosi, dan saling memaafkan.

Kedermawanan 

Kedermawanan adalah perhatian, sikap, tindakan dan perilaku peduli terhadap masalah-masalah orang lain. Wujud nyata kedermawanan seseorang dan atau lembaga-lembaga terkait adalah  kebiasaan dan tanggung jawab menyisihkan sebagian aset, kekayaan material dan immaterial bagi kebutuhan orang lain tanpa pamrih.

Kedermawanan pun bisa diukur berdasarkan tingkat kepedulian dan empati kita terhadap berbagai kondisi sosial saudara, tetangga, kerabat dan handai tolan tanpa membedakan suku, agama, ras atau  bangsa yang masih berada dalam kondisi dan situasi serba keterbatasan atau sering diartikan secara harfiah sebagai golongan masyarakat fakir miskin dan duafa dalam segala aspek  di bidang bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya serta pendidikan.

Namun tidak bisa dihindari, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau , bahwa  sebagai makhluk sosial , kehidupan dan interaksi manusia  selalu berkaitan dengan masyarakat dan individu yang lainnya dalam keragaman latar belakang suku, bangsa, agama, pendidikan dan pengalaman. Keangkuhan sosial dan  ketidakadilan perlakukan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, selain potensial menimbulkan kesenjangan, juga memungkinkan  timbul masalah superioritas- inferioritas antar suku, bangsa dan agama. yang lebih kompleks dan rumit  serta luas.

Kedermawanan bukanlah aksi sesaat, ketika hanya selesai puasa wajib di bulan Ramadhan, atau saat lebaran  tiba, atau juga ketika silaturahim mudik berkumpul bersama orang tua dan saudara. Kedermawanan harus berakar kuat dalam keimanan dan ketakwaan serta  tanggung jawab manusia sepanjang hayatnya hingga kondisi ekonomi dan kesejahteraan  masyarakat semakin baik dan sehat.

Jika setiap tahun kuantitas dan kualitas fakir miskin atau  duafa  masih semakin bertambah, berarti pengelolaan kedermawanan kita baru sampai pada tingkat narsis, pamer, bahkan mungkin hanya sekedar iklan  atau pencitraan individual dan institusi-institusi sosial saja. Meminjam istilah Gita Wiryawan di kanal Youtube-nya ketika berbincang-bincang dengan tokoh akhli tafsir terkemuka dan kontemporer, Quraish Shihab: Era medsos berbasis teknologi digital seringkali segala tindakan kita lebih mengedepankan festivalisasi dan sensasionalisasi tanpa editorialisasi. Menurut Prof Quraish Shihab, kita kerap mengungkapkan semua hal yang kita ketahui di medsos, tanpa berpikir panjang tentang akibat dan manfaat bagi orang lain.

Pengendalian emosi.

Gembira dan suka cita ketika pasca puasa Ramadhan atau lebaran tiba adalah ungkapan   manusiawi setelah latihan mengendalikan emosi selama sebulan . Namun banyak juga ummat Islam yang meneruskan puasa sunat selama 6 ( enam ) hari di bulan Syawal  Bahkan  tidak sedikit yang biasa puasa sunat Senin dan Kamis selama hampir sebagian besar dari masa  hidupnya.

Puasa yang kita laksanakan pada hakekatnya adalah sebagai upaya mengendalikan emosi secara berkelanjutan. Sebaliknya tidak sedikit pula di antara kita yang melampiaskan atau mengumbar nafsu bersenang-bersenang dan berhura-hura berkepanjangan, seolah-olah pengendalian emosi hanya sebatas selama bulan Ramadhan saja.

Di era kebebasan liberal yang difasilitasi oleh teknologi digital telah mendorong manusia lupa pada hakekat puasa. Kita pun sering tidak menyadari, bahwa teknologi hanyalah sekadar instrument untuk membantu meningkatkan kualitas  hidup antar manusia semakin mudah, baik, praktis dan bermanfaat bagi kepentingan bersama. Bukan digunakan sewenang-wenang  untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri.

Ungkapan kegembiraan dan rasa syukur  seringkali masih terbatas pada  tampilan-tampilan  lahiriah, untuk kepentingan diri sendiri: belanja pakaian baru, kendaraan baru, bepergian ke obyek wisata di dalam dan di luar negeri, termasuk kebiasan-kebiasaan konsumtif lainnya. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, bahwa perputaran uang selama periode mudik ini menyentuh Rp 92,3 triliun. Sementara itu PT Jasa Marga mencatat sebanyak 1.3 juta kendaraan meninggalkan Jabodetabek pada masa musim hari Raya 1444 H. (detikNews Sabtu,22Apr202316:22WIB)

Emosi yang tidak terkendali berkepanjangan tidak jarang pula melupakan hak dan kepentingan orang lain yang terjadi di sekitar kita. Dalam suasana suka cita, kita cenderung abai terhadap orang yang bermasalah seperti :  anak-anak yang putus sekolah, orang-orang yang  dililit utang, sakit parah berkepanjangan, mungkin sedang terbaring sakit di rumah atau di rumah sakit, bahkan orang-orang yang terpaksa mengungsi meninggalkan negeri asalnya, karena dilanda perang antar saudara sesuku dan sebangsa.

Saling memaafkan.

Tradisi saling memaafkan dalam suasana lebaran Idul Fitri adalah ungkapan psiko-fisik, yang konon hanya  dilakukan  oleh orang-orang Indonesia. Era digitalisasi memungkinkan komunikasi saling memaafkan di jagat maya lintas geografis, bangsa dan negara. Kebiasaan saling memaafkan pasca Ramadhan di negara kita telah dikuatkankan melalui kebiasaan yang disebut halal bihalal.

Berdasarkan situs NUOnline, edisi Jumat, 17 Juli 2015, istilah ”halalbihalal” awalnya digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Pada pertengahan Ramadhan tahun 1948. Presiden Soekarno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (saat itu sebagai Dewan Pertimbangan Agung) ke Istana Negara. Dia diminta saran untuk meredakan keretakan politik. Kiai Wahab mengusulkan digelar silaturahmi saat hari raya Idul Fitri. Namun, Presiden ingin istilah yang khusus. Kiai menyodorkan istilah ”halalbihalal” dalam pengertian saling memaafkan, menghalalkan satu sama lain ( ILHAM KHOIRI, Kompas 17 April 2023 21:20 WIB)

Nampaknya tradisi halal bihalal sangat diyakini dapat menjadi dasar perekat kerukunan dan kesatuan ummat manusia yang memiliki latar belakang kebhinekaan dalam suku, agama dan budaya serta kepentingan. Tidaklah mengherankan, bahwa  saling memaafkan dalam tradisi halal bihalal pasca Ramadhan atau lebaran Idul Fitri tidak hanya dilakukan oleh pebisnis atau pengiklan untuk membangun kesadaran merek, juga sering juga dimanfaatkan secara marak oleh para politisi untuk menyapa dan mendekatkan diri dengan para konsituen dan calon pemilihnya. Wallahu A'lam Bish Shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun