Gembira dan suka cita ketika pasca puasa Ramadhan atau lebaran tiba adalah ungkapan manusiawi setelah latihan mengendalikan emosi selama sebulan . Namun banyak juga ummat Islam yang meneruskan puasa sunat selama 6 ( enam ) hari di bulan Syawal Bahkan tidak sedikit yang biasa puasa sunat Senin dan Kamis selama hampir sebagian besar dari masa hidupnya.
Puasa yang kita laksanakan pada hakekatnya adalah sebagai upaya mengendalikan emosi secara berkelanjutan. Sebaliknya tidak sedikit pula di antara kita yang melampiaskan atau mengumbar nafsu bersenang-bersenang dan berhura-hura berkepanjangan, seolah-olah pengendalian emosi hanya sebatas selama bulan Ramadhan saja.
Di era kebebasan liberal yang difasilitasi oleh teknologi digital telah mendorong manusia lupa pada hakekat puasa. Kita pun sering tidak menyadari, bahwa teknologi hanyalah sekadar instrument untuk membantu meningkatkan kualitas hidup antar manusia semakin mudah, baik, praktis dan bermanfaat bagi kepentingan bersama. Bukan digunakan sewenang-wenang untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri.
Ungkapan kegembiraan dan rasa syukur seringkali masih terbatas pada tampilan-tampilan lahiriah, untuk kepentingan diri sendiri: belanja pakaian baru, kendaraan baru, bepergian ke obyek wisata di dalam dan di luar negeri, termasuk kebiasan-kebiasaan konsumtif lainnya. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, bahwa perputaran uang selama periode mudik ini menyentuh Rp 92,3 triliun. Sementara itu PT Jasa Marga mencatat sebanyak 1.3 juta kendaraan meninggalkan Jabodetabek pada masa musim hari Raya 1444 H. (detikNews Sabtu,22Apr202316:22WIB)
Emosi yang tidak terkendali berkepanjangan tidak jarang pula melupakan hak dan kepentingan orang lain yang terjadi di sekitar kita. Dalam suasana suka cita, kita cenderung abai terhadap orang yang bermasalah seperti : anak-anak yang putus sekolah, orang-orang yang dililit utang, sakit parah berkepanjangan, mungkin sedang terbaring sakit di rumah atau di rumah sakit, bahkan orang-orang yang terpaksa mengungsi meninggalkan negeri asalnya, karena dilanda perang antar saudara sesuku dan sebangsa.
Tradisi saling memaafkan dalam suasana lebaran Idul Fitri adalah ungkapan psiko-fisik, yang konon hanya dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Era digitalisasi memungkinkan komunikasi saling memaafkan di jagat maya lintas geografis, bangsa dan negara. Kebiasaan saling memaafkan pasca Ramadhan di negara kita telah dikuatkankan melalui kebiasaan yang disebut halal bihalal.
Berdasarkan situs NUOnline, edisi Jumat, 17 Juli 2015, istilah ”halalbihalal” awalnya digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Pada pertengahan Ramadhan tahun 1948. Presiden Soekarno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (saat itu sebagai Dewan Pertimbangan Agung) ke Istana Negara. Dia diminta saran untuk meredakan keretakan politik. Kiai Wahab mengusulkan digelar silaturahmi saat hari raya Idul Fitri. Namun, Presiden ingin istilah yang khusus. Kiai menyodorkan istilah ”halalbihalal” dalam pengertian saling memaafkan, menghalalkan satu sama lain ( ILHAM KHOIRI, Kompas 17 April 2023 21:20 WIB)
Nampaknya tradisi halal bihalal sangat diyakini dapat menjadi dasar perekat kerukunan dan kesatuan ummat manusia yang memiliki latar belakang kebhinekaan dalam suku, agama dan budaya serta kepentingan. Tidaklah mengherankan, bahwa saling memaafkan dalam tradisi halal bihalal pasca Ramadhan atau lebaran Idul Fitri tidak hanya dilakukan oleh pebisnis atau pengiklan untuk membangun kesadaran merek, juga sering juga dimanfaatkan secara marak oleh para politisi untuk menyapa dan mendekatkan diri dengan para konsituen dan calon pemilihnya. Wallahu A'lam Bish Shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H