Mohon tunggu...
Sofiandy Zakaria
Sofiandy Zakaria Mohon Tunggu... Dosen - Pensiunan PNS Badan Pengembangan SDM Dep. KIMPRASWIL/ Dep. PU. Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP-UMJ 1989-2022. Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta 2007-2022

Menulis ,Olah raga berenang dan jalan kaki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stigma Vs Peluang Usaha Barang-barang KW

26 Juni 2022   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2022   22:53 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi barang KW (Sumber: shutterstock)

Barang-barang KW, atau kualitas tiruan tidak hanya terbatas pada tas, pakaian, sepatu, parfum atau makanan, tapi juga sudah lama merambah ke produk-produk canggih berteknologi dan berisiko tinggi, seperti mobil dan pesawat terbang. Bahkan mungkin saja suatu saat juga akan banyak produk KW di bidang jasa transportasi, keuangan dan telekomunikasi. 

Kita terlanjur memberi label produk-produk KW sebagai barang yang kurang atau tidak bermutu dan tidak ada manfaatnya. Apalagi kalau produk-produk tersebut dibuat di negara-negara berkembang atau negara tertentu yang dianggap pesaing berat negara-negara barat, produsen barang kualitas ORI.

Di zaman kuda gigit besi alias masa lalu, kalau barang bukan buatan Inggris, Jerman, Prancis, Swedia, Swiss , Italia dan Amerika, orangtua -orangtua kita menyebutnya sebagai barang tiruan alias imitasi, kodian, kalengan, atau abal-abal. 

Di sekitar tahun 1970-an mobil buatan Jepang masih disebut sebagai produk kaleng kerupuk. Apalagi barang-barang buatan Cina saat itu masih belum muncul sama sekali. Kalau pun sudah ada, bahkan dianggap produk yang tidak jelas kualitas dan manfaatnya. 

Stigma negatif terhadap barang-barang yang bukan buatan Inggris, Jerman, Italia, Swiss, Swedia atau Amerika sampai sekarang masih melekat kuat di benak pikiran dan hati kalangan kaya raya eksklusif tertentu.

Raja-raja KW

Negara-negara yang disebut di atas menguasai pasar global berbagai barang sudah sangat lama. Kendati demikian, belakangan penguasa dan pengusaha besar di negara-negara tersebut terkesan terkaget-kaget, bahkan cenderung menunjukkan sikap-sikap kewalahan dalam menghadapi kemajuan transaksi jual beli aneka barang dari negara-negara timur, terutama keluaran Jepang, Korea dan yang paling terakhir dari Cina. 

Hati kecil penguasa dan pengusaha negara-negara barat, agaknya terpaksa harus mengakui kehebatan Jepang, Korea dan Cina sebagai negara-negara peniru handal produk-produk yang selama puluhan tahun mereka bangga-banggakan.

Ternyata Jepang, Korea dan Cina pun lebih unggul dalam memadukan nilai kualitas fungsi dan fesyen (function and fashion) untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan barang di banyak segmen. 

Karakteristik setiap segmen yang disasar, sekaligus dijadikan basis utama bauran pemasaran barang secara terpadu dan kreatif dengan menawarkan harga yang lebih realistis dan bersaing, hingga bisa diterima dan diminati oleh banyak target segmen di pasaran global.

Banyak orang tahu, merek mobil M dari Jepang yang ditahun 1980-an mengusung tagline iklan raja jalanan itu, sampai sekarang masih tetap menguasai pangsa pasar mobil-mobil. Tidak hanya di kelas angkutan umum seperti mini bus, bus-bus ukuran besar, truk-truk untuk pengangkut barang dan pekerjaan berat lainnya, tapi juga mobil-mobil  pribadi ukuran untuk keluarga kecil.

Sementara itu merek mobil T juga dari negara Jepang, yang di awal-awal usahanya dengan yakin menambahkan nama hewan dongeng legendaris asli Indonesia dan kemudian lebih dikenal menjadi mobil merek TK yang sangat akrab di telinga hampir semua lapisan masyarakat. 

Kemudian yang paling banyak adalah merek T jenis ukuran sedang, yang terkenal dengan sebutan mobil-mobil sejuta umat, telah ikut memadati lalu lintas jalan di kota-kota terutama di jam-jam sibuk. 

Mobil-mobil dinas perkantoran pun, baik swasta maupun pemerintahan yang tempo dulu dikuasai oleh merek LR dari Inggris, kini sudah sekitar setengah abad dikuasai oleh merek mobil TK dari Jepang.

Sementara mobil-mobil super mewah yang lebih mengandalkan fungsi ketangguhan, keamanan dan kenyamanan dan penampilan elegan, seperti merek RR, J, F dan L hanya dimiliki oleh orang-orang kaya raya lama dan baru tertentu saja.

Cerita lain yang lebih merakyat adalah tentang makanan segala umat di negeri kita, adalah mie instan merek IM yang di tahun 1970-an masih dianggap sebagai makanan rakyat level akar rumput, ternyata kini sudah menjadi raja mie dan menjadi raksasa bisnis mie cepat saji yang bukan saja menguasai pasar lokal, tapi juga banyak diminati di negara-negara lain. 

Ini adalah kreasi hasil kecerdasan, kejelian dan kecerdikan, termasuk upaya-upaya positioning jitu yang mengangkat nama-nama varian rasa masakan khas budaya-budaya lokal hampir dari seluruh daerah di Indonesia. Produk mie siap saji ini ternyata juga cocok untuk lidah-lidah orang dari berbagai negara.

Produk makanan ini pun selalu dihadirkan paling dulu dan agresif di saat-saat terjadi berbagai musibah, seperti banjir dan gempa bumi yang menimpa masyarakat, bukan hanya di dalam negeri tapi juga di belahan dunia lainnya, termasuk di tempat-tempat pengungsian yang  diakibatkan  oleh berbagai konflik dan peperangan antar negara dan bangsa. 

Berapa juta rakyat Indonesia sendiri yang mengonsumsi mie instan tersebut untuk sarapan, makan siang atau makan malam. Silahkan berselancar atau meramban informasi, terutama di banyak kanal medsos tentang jumlah omzet dan kekayaan perusahaan tersebut. 

Kelompok pemilik perusahaan mie ini sudah sekitar setengah abad tetap konsisten dan semakin semangat menjadi pejuang sejati recehan, yang rajin menabung keuntungan hingga mencapai kekayaan triliunan rupiah.

Bukan tidak mungkin suatu ketika akan ada raksasa bisnis siomay, batagor, mpek-mpek, cilok atau seblak yang meniru keteguhan dan ketangguhan serta keajegan memfokuskan usaha untuk memenuhi kebutuhan, keinginan yang  sesuai dengan kemampuan kantong rakyat di level bawah.

KW-KW: cerminan struktur kebutuhan, keinginan dan kemampuan. 

Setiap individu sebagai konsumen membeli barang atau mengonsumsi makanan dan  minuman bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan dan keinginan dasar biologis sesuai kemampuannya, tapi bisa jadi untuk memenuhi rasa aman, sosialisasi atau pertemanan, pertemuan (reuni) berbagai paguyuban atau juga aktivitas patembayan formal dalam pekerjaan sehari-hari. 

Bisa jadi konsumen juga ingin menunjukkan harga diri sesuai status atau keberadaannya kepada lingkungan dan dunia luarnya. Bahkan bukan tidak mungkin kebutuhan dan keinginan konsumen juga terkait dengan upaya aktualisasi diri, yang menunjukkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. 

Keyakinan adanya struktur kebutuhan setiap individu manusia tidak selalu merupakan kebutuhan tunggal. 

Dalam realitas sosial, individu konsumen memenuhi kebutuhan dan keinginannya kadang-kadang melibatkan lebih dari satu dorongan atau motif, bahkan merupakan gabungan beberapa motif. 

Sebagai contoh, seseorang yang lapar atau haus tidak selamanya dipenuhi oleh makanan dan minuman yang ada di rumah masing-masing. Bisa jadi sesekali ia makan dan minum di warteg, angkringan, cafe atau bahkan di restoran-restoran berkelas. 

Bisa jadi sendirian atau bersama keluarga, teman atau sahabatnya sesuai kebutuhan, keinginan dan kemampuan serta kesepakatan dalam banyak relasi dan interaksi sosial. Dengan demikian, roda ekonomi dan bisnis akan terus berjalan dinamis mengikuti satu realitas ke realitas lainnya.

Tidaklah mengherankan produk-produk barang atau jasa dalam berbagai tingkatan kualitas akan selalu diciptakan oleh produsen untuk memenuhi tuntutan yang sesuai kebutuhan, keinginan dan kemampuan pangsa pasarnya.

Ternyata usaha barang-barang juga lahir menjadi realitas dinamika kehidupan manusia dalam berbagai lingkungan yang merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dengan perkembangan ekonomi, bisnis dan aktivitas sosial serta budaya di negara mana pun.

Peluang dan tantangan.

Gambaran produk barang-barang KW dapat analogikan dengan bentuk piramida, bagian fondasi dasar piramida biasanya mencerminkan level kebutuhan, keinginan dan kemampuan mayoritas konsumen. 

Tantangannya, bagaimana analogi bentuk piramida kebutuhan, keinginan setiap konsumen juga bisa diseimbangkan dan diselaraskan dengan kemampuan untuk memenuhinya. 

Dewasa ini lagi-lagi Cina nampak jeli dan unggul dalam memproduksi barang-barang KW yang konon sudah mencakup 11 grade untuk berbagai kebutuhan dan keinginan yang sesuai dengan kemampuan konsumen di berbagai market place-nya. 

Cina pun dengan bangga sudah berani mengakui produk-produk tertentu sebagai OC alias Ori Cina. Data atau informasi menyangkut kebutuhan, keinginan dan kemampuan berbagai target segmen, pasti diperolehnya bukan dengan cara KW-KW , kaleng-kaleng atau abal-abal. Entahlah.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun