Ini bukan cerita kawin paksa atau terpaksa, apalagi kasih tak sampai  seperti di zaman Sitti Noerbaja, novelnya  Marah Roesli dari ranah Minang  tahun 1922.  Bukan pula tentang  sinetron itu yang ditayangkan di  layar kaca TVRI di tahun  1991 dengan bintang terkenal: Novia Kolopaking dan Gusti Randa.
Apalagi cerita tentang gadis cantik yang  dikawin e-class oleh  pengusaha  yang kaya raya tajir melintir.  Bahkan bukan tentang ungkapan bucin alias budak cinta. Bukan pak, bu. Bukan sis, bro. Tulisan ini, sama sekali  bukan tema terkait romantika cinta, gaeees.Â
Ini adalah sekelumit  kehidupan realita lain para konsumen di era revolusi teknologi digital, yang mengedepankan kemudahan, kepraktisan dan  kecepatan serta  ketepatan. Memang, tulisan ini sedikit agak  berbau gaya hidup hedone dan materalitis di perkotaan, yang gandrung akan  penampilan karakter identitas diri narsis  atau  selfish.Â
Tidak ada lagi konsumen setia ?
Di era revolusi komunikasi dan informasi digital yang sangat bebas dan terbuka: para produsen, pedagang atau penjual barang makanan dan atau  jasa,  semakin kreatif dan inovatif. Bungkusan, kemasan atau selubung ( casing ):  tampil dalam berbagai warna dan pesan serta design yang menggoda perhatian, pikiran dan perasaan. Kita tidak tahu pasti isi di dalamnya:  sesuatu yang benar, baik dan bermanfaatkah . Atau bisa jadi hanya sekadar rayuan, bahkan tipuan sekaligus jebakan.
Keanekaragaman rangsangan alias stimuli bukan hanya menerpa indra penglihatan dan pendengaran khalayak, tapi masuk merasuk ke ranah-ranah pribadi. Hampir tidak ada lagi yang namanya milik pribadi. Semuanya seolah kepunyaan orang banyak dan bersama.
Realitas kebebasan dan keterbukaan yang cenderung kebablasan  di sekitar kita, serba menggoda membuat kita mungkin kagum, terpesona, gumun bahkan kagetan. Menentukan pilihan segala hal menjadi dilematis dan kadang sulit. Semua yang ditawarkan tentang makanan, barang atau jasa mengaku paling baik dan nomor wahid. Sejak kita bisa baca dan belanja ternyata tidak ada kecap nomor 2. Sekarang pesan di botol atau plastik bungkusnya ditambah pula: paling ueenak dan terlaris.
Semuanya mengaku nomor 1 dan paling hebat. Kalau yang ditawarkan berupa barang; pasti dijamin paling bermutu dan terlaris. Sementara jika dalam pelayanan jasa, taruhlah di bidang  transpotasi, perbankan atau investasi keuangan yang dipromosikan , selalu dikatakan paling nyaman, aman dan menguntungkan.
Konsumen sebagai obyek atau subyek.
Semua orang tahu, bahwa semua perusahaan dan atau jualan apa pun, pasti  tujuan utamanya adalah  untung. Apakah si pembeli atau konsumen memperoleh untung ?  Kenyataan, konsumen lebih sering menjadi obyek daripada subyek. Ia dianggap sebagai sasaran yang harus dimainkan atau dipermainkan  rasa ingin tahu dan kepenasarannya agar mau memutuskan segera untuk membeli atau memilikinya. Konsumen yang gampang dirayu, apalagi yang impulsif atau kompulsif , hampir selalu berujung dengan penyesalan dan kerugian. Apalagi ada ketentuan barang yang terlanjur dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan.
Produsen, pedagang atau penjual  biasanya  tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa konsumen adalah subyek: manusia di segmen manapun yang memiliki karakter dan kekuatan berpikir, menganalisis, menfasirkan dan menentukan pilihan yang paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan juga keyakinan, adat istiadat, budaya dan agamanya. Kendati demikian, konsumen sebagai manusia tidak selamanya berperilaku hanya berkeinginan ( homo volens ), atau dikendalikan oleh lingkungan ( homo mechanicus ), tidak juga selamanya rasional (homo sapiens ), yang mampu mengolah pikirannya secara akurat dan tepat.Â