Ritual seremonial Qurban tahun 1445 H/2024 segera tiba kembali.  Perintah Allah SWT ini sarat simbolik: ketulusan empati personal untuk mengendalikan  kerakusan penguasaan dan kekuasaan banyak  hal yang paling dicintai sekalipun bagi kepentingan sesama ummat manusia.
Sejarah qurban dalam agama Islam memiliki akar  hubungan dengan kisah Nabi Ibrahim (Abraham) dan putranya, Nabi Ismail (Ishmael), sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran. Kisah ini menjadi landasan sejarah bagi ibadah qurban yang dilakukan oleh umat Muslim ( Fakultas Agama Islam umsu 20 June 2023).
Syarat dan ketentuan berkurban untuk menyembelih hewan adalah simbol keikhlasan hakiki yang diperintahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh ummat manusia melalui Nabi Ibrahim. Sebagai nabi sekaligus rasul utusanNya. Ibrahim pun mungkin tidak serta merta percaya dan yakin akan perintah Tuhan yang diwahyukan lewat mimpinya itu: apalagi untuk mengorbankan anak semata wayang yang sangat dicintainya.
Sebagai manusia, Ibrahim pasti  dalam posisi galau, ragu atau bahkan takut. Jangan-jangan mimpinya hanya sekadar bunga tidur. Cuma mimpi hayalan atau mimpi buruk ( nightmare ),  karena sedang mengalami stres dan kecemasan. Keraguan dan kecemasan Ibrahim akan mimpinya  itu  kemudian dimintakan pendapat ( second opinion)  kepada putranya. Inilah hakekat cikal bakal komunikasi dialogis di dalam rumah keluarga  yang dicontohkan Ibrahim: sebelum memutuskan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan  keselamatan bersama orang lain, termasuk putra kesayangannya. Tidak ditemukan dalam sejarah kisah Ibrahim yang  menunjukkan  sikap otoriter beliau sebagai seorang ayah kepada anaknya. Atau mengambil keputusan demi kepentingan diri sendiri, keluarga serta kroni-kroni , apalagi untuk membangun suatu dinasti demi ambisi pribadi.
Qurban dalam agama Islam sejatinya juga adalah ajaran sekaligus role model yang  memiliki kepentingan bagi hajat hidup orang banyak, yang membutuhkan perhatian dan bantuan: tidak hanya semata-mata sekadar urusan sembelihan hewan dan pembagian dagingnya bagi tetanggga, saudara, kerabat terutama yang tergolong kaum duafa.
Di era kebebasan komunikasi dan infomasi digital dan artificial intelligence (AI)  , esensi qurban menyentuh spektrum keberpihakan dan kepedulian para pemimpin, pendidik, politisi dan penguasa publik dalam berbagai bidang  yang lebih luas serta urgent terutama untuk membangun peradaban baru dalam kebersamaan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup antar sesama manusia yang lebih bermartabat.
Esensi empati dalam qurban diharapkan selalu tampil setiap saat sebagai  satu kesatuan hati, pikiran, emosi, sikap dan tindakan yang teguh dan ajeg untuk menempatkan diri kita dalam posisi, kondisi dan situasi orang lain, teristimewa orang-orang  yang sedang mengalami  keprihatian dalam berbagai  masalah dan musibah kehidupan manusia yang cenderung semakin kompleks:  yang  bisa timbul atau dialami oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Bisa karena kehilafan, kelalaian , kecerobohan atau keteledoran, bahkan mungkin dilakukan dengan sengaja dan sadar semata-mata karena kerakusan akan penguasaan dan kekuasaan tentang berbagai  hal:  harta, jabatan dan kedudukan dalam berbagai birokrasi pemerintahan dan swasta serta berbagai institusi kemasyarakatan lainnya.
Qurban seringkali berada dalam status tarik menarik kepedulian manusia dalam kepentingan: terutama kepentingan pribadi di satu sisi dan kepentingan masyarakat luas di sisi lain. Qurban juga adalah masalah prioritasi untuk memilih dan memilah dalam menentukan serta  mendahulukan kebutuhan orang lain yang lebih penting ketimbang keinginan dan kepentingan  pribadi.
Sebagai manusia, kita sering bersikap dan bertindak  dzolim , terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain. Kita sering berupaya dan bekerja keras dalam mengejar harta dan beragam urusan-urusan duniawi  lain untuk kesenangan pribadi. Kita tidak jarang terperangkap  ke dalam kegiatan berkurban atau memberikan segala sesuatu tentang hal-hal yang  kita sendiri dan orang lain tidak  suka dan tidak butuh.
Proses dan tujuan qurban secara prinsip pun disimbolkan melalui rangkaian kegiatan sembelihan hewan yang harus diperoleh dengan cara-cara halal dan tanpa berhutang. Dengan kata lain persembahan segala sesuatu yang dikorbankan manusia untuk kebutuhan dan kepentingan hajat hidup orang banyak,  apalagi untuk kepentingan suatu bangsa dan negara: harus benar-benar tidak dengan menghalalkan segala cara dan segala upaya yang merugikan diri sendiri, bagi  generasi  sekarang  juga  yang akan datang. Wallahu a'lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H