Kotoran manusia pun tanpa kita sadari ternyata menjadi bagian dari keberlangsungan hidup manusia dengan sesama makhluk-makhluk lain. Termasuk  hewan, tumbuhan dan atau makhluk hidup lain.
Istilah  kotoran yang berasal dari akar kata kotor, tidak hanya milik petani perdesaan. Orang-orang kota, terutama pengusaha-pengusaha  besar di bidang pertanian sangat akrab dengan dengan urusan kotoran, yang diolahnya menjadi pupuk kimiawi, yang menjadi kebutuhan pokok sekaligus ketergantungan para petani. Ketika musim tanam tiba pupuk pun seringkali menjadi isu nasioanl. Â
Mainan para pengusaha dan atau mungkin para politisi: antara ketersediaan dan kelangkaannya. Harga dan keberadaannya pun selalu berada dalam kendali tangan-tangan mereka. Kelangkaan pupuk kerap memengaruhi menurunnya kualitas dan kuantitas panen: Â yang jadi kambing hitam selalu: anomali musim dan cuaca lokal, bahkan global.
Akhir-akhir ini istilah kotor pun merebak viral terutama dikalangan yang berkepentingan di bidang politik, hukum, dan etika. Media arus utama terutama TV dan media sosial sangat kerap dan berulang-ulang membahas adanya akitvitas kotor.Â
Di lingkungan penguasa dan pengusaha di dalam dan di luar pemerintahan negara. Â Munculnya tayangan sebuah film berjudul Dirty Vote , yang menggambarkan dugaan terjadinya penyelewengan, penyalahgunaan kewenangan secara terstruktur, massif dan sistematik khususnya dalam pemilu presiden. Film Dokumenter Dirty Vote viral sejak pertama kali ditayangkan di Youtube pada 11 Februari 2024 lalu
Kata "kotor" (dirty) pun merambah viral dalam beragam aktivitas manusia: segala sesuatu yang dianggap  jelek dan bahkan buruk bahkan menjijikan. Menerpa benak hati dan pikiran serta emosi berbagai lapisan masyarakat: di kalangan yang berpendidikan, intelektual, bahkan orang-orang awam sekalipun. Itulah konsekuensi dari relasi sosial yang serba bebas, terbuka dan lepas kendali
Bentukan kata kotor menjadi kotoran: Dalam relasi sosial  merupakan buah pikiran, emosi yang mengalir  deras dari pikiran ke  bibir dan lidah  serta tangan: bisa jadi berbentuk kata-kata atau  ujaran, gambar, suara atau video yang merepresentasika sikap benci dan dengki, jengkel, kesal terhadap situasi dan kondisi yang tidak kunjung baik-baik saja.Â
Ujaran-ujaran kotor ditelan, dicerna atau diolah dan mungkin  langsung dibuang kembali sebagai kotoran: yang menyebar diantara kehidupan manusia. Makhluk yang bernama manusia  tidak memiliki  kemampuan yang sama dalam memilah, memilih dan mengolah kotoran: Di mana pun, kapan pun dan dengan siapa pun. Kotoran  yang melampaui kapasitas kemampuan daya dukung nalar dan emosi serta segala tindakan manusia dan lingkungannya akan menimbulkan relasi sosial beracun.