Trend konsumsi plant-base food makin meningkat dari tahun ke tahun termasuk di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakangi perubahan selira konsumsi meat-base food menjadi plant-base food alasannya, yaitu kesehatan, kesejahteraan hewan, dan sustainability. Pertama, alasan kesehatan biasanya menjadi alasan sering digunakan. Konsumsi meat-base food terutama daging merah ditambah dengan gaya hidup kurang sehat, aktifitas fisik kurang, dan asupan nutrisi yang tidak seimbang membuat peningkatan penyakit tidak menular seperti kanker, sindrom metabolisme, dan obesitas.Â
Kedua, alasan kesejahteraan hewan. Bukan isu yang baru di dunia namun dekade terakhir ini banyak menjadi perbincangan di kalangan masyarakat Indoneisa. Konsep kesejahteraan hewan terkait artikulasi perilaku dan sikap terhadap hewan dan bagaimana manusia mengimplementasikannya dengan tindakan yang sesuai dan tepat (Pujayanti 2013). filosofi tersebut biasanya dipegang kuat oleh seorang vegan. Akibatnya, seorang vegan akan menggantikan konsumsi daging dan ikan beserta turunannya menjadi makanan berbasis plant-base food sebagai alternatif.
Ketiga, alasan terkait sustanaibility atau keberlanjutan. Peningkatan populasi dunia, meningkatkan kebutuhan pangan global terhadap meat-base food. Hal ini menjadi tantangan karena sumber daya alam, lahan, dan air dari tahun ke tahun akan semakin berkurang. Ditambah produktivitas di beberapa peternakan yang tidak efisien dan isu-isu penyakit pada hewan ternak. Selain itu meat-base food pada sektor perikanan juga mendapat sorotan karena dapat berdampak negatif pada ekosistem berupa berkurangnya keanekaragaman hayati laut dan kerusakan lingkungan. Produk perikanan juga tidak lepas dari isu kesehatan akibat akumulasi logam berat dan mikroplastik yang mencemari lautan.
Salah satu solusi yang terus dikembangkan oleh para peneliti di beberapa negara untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan membuat plant-base meat/seafood. Plant-base meat/seafood yang dimaksud di sini bukan sekedar mengekstruksi bahan pangan berbasis nabati dan dibentuk menyerupai potongan daging. Lebih dari itu, para peneliti merekayasa dan merestruktur sampai ke tingkat molekul agar menyerupai rasa dan tekstur daging asli menggunakan molekul protein nabati.
Secara umum, daging ikan dicirikan dengan struktur gel berserat di mana restruktur untuk mencapai hasil tersebut terdiri dari dua metode, yaitu bottom-up dan top-down. Metode bottom-up, serat protein yang memang telah berbentuk untaian dirakit untuk menyerupai miofibril kemudian disejajarkan dan ditaukan silang untuk membentuk struktur gel anisotropik. Pada metode top-down merupakan metode ekstruksi. Struktur 3D protein nabati umumnya berbentuk globular, sehingga penataan campuran biopolimer dilakukan menggunakan medan gaya eksternal untuk mendenaturasi protein menjadi bentuk untaian dan perpanjangan serat diinduksi dengan medan listrik sehingga pembentukan struktur anisotropik dapat terjadi. Teknik penataan yang umum digunakan untuk metode tersebut, diantaranya hydrospinning, electrospinning, ekstruksi, dan 3D printing. Selain memberikan tekstur dan penampilan yang sama, rasa dan nutrisi juga harus menyerupai. Komposisi asam amino memainkan peran tersebut. Sejauh ini protein nabati yang banyak digunakan adalah protein kedelai karena memilki semua jenis asam amino esensial dan mudah untuk dicerna. Kombinasi dari beberapa protein nabati dapat meningkatkan nilai gizi dan cita rasa (Kazir dan Linvey 2021).
Salah satu proyek penelitian untuk memperoleh analog daging/seafood yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat adalah Plantish. Plantish adalah start up  foodtech asal Israel yang berdiri berdasarkan prinsip etis untuk menyelamatkan lautan dan menjadikan ikan sebagai alternatif nutrisi. Mereka mengembangkan analog fillet salmon yang rasa, tekstur, struktur, dan penampilannya menyerupai fillet salmon konvensional. Diawali dengan mendapat pendanaan sebesar dua juta dolar US dari TechAviv Founder Partners, Plantish mulai mengerjakan prototipe mereka di awal tahun 2021.
Plantish menggunakan protein nabati yang tepat berupa legum protein dan ekstrak alga untuk membentuk untaian serat guna meniru tekstur kompleks otot salmon dan menggunakan teknologi 3D printing. Hasilnya, bukan hanya rasa, tekstur, struktur, dan penampilannya yang menyerupai fillet salmon. Plantish mengklaim, analog fillet salmon mereka mempunyai kadar protein dan omega-3 yang lebih tinggi dibandingkan fillet salmon konvensional. Selain itu, analog fillet salmon ini terbebas dari bahan-bahan pencemar seperti merkuri, mikroplastik, hormon, dan antibiotik yang menjadi fokus kesehatan produk perikanan akibat pencemaran lautan. Produk dari Plantish akan dimanufaktur dalam skala besar namun dengan harga yang lebih murah. Sampai tahun 2022, prototipe telah berhasil dikembangkan dan dijadwalkan untuk interaksi konsumen pertamanya pada akhir tahun 2022. Sedangkan, untuk peluncuran secara komersial akan direncanakan pada tahun 2024.
Daftar Pustaka
Pujayanti, Adrini. 2013. "lsu Kesejahteraan Hewan dalam Hubungan Indonesia-Austarlia"
Kazir M dan  Livney Y D. 2021 . Plant-Based Seafood Analog. Molecules. 26(6). DOI: https://doi.org/10.3390/molecules26061559Â