Akhir pekan memang waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan baik bersama teman, rekan kerja, keluarga, dan orang terkasih lainnya. Setiap orang memiliki perjalanan menarik dalam hidupnya salah satunya dengan melakukan perjalanan ke alam.
Bentangan alam di setiap provinsi juga beraneka ragam. Ada yang memang langsung diwarisi sebagai tempat wisata ada pula yang memang harus effort untuk menemukan surga tersembunyi di daerahnya masing-masing, seperti Riau.
Selain karena Riau penghasil minyak, masyarakat Bumi Lancang Kuning perlu effort lebih untuk perjalanan ke alam yang terkadang berbatasan langsung dengan provinsi tetangga yakni Sumatera Barat. Salah satunya yakni melakukan perjalanan ke Lubuk Bigau, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau.
Lokasi ini berjarak 137 km dari ibu kota Pekanbaru, Riau. Perjalanan dapat ditempuh selama kurang lebih 4 jam menggunakan jalur darat jika solo di saat musim kemarau. Namun, bisa memakan penambahan hingga dua jam jika rombongan ataupun saat sedang musim hujan.
Sebagai informasi, masih banyak orang yang enggan ke sana karena daerahnya berada di pedalaman. Namun, siapa sangka Lubuk Bigau sebagai salah satu daerah konservasi di Riau. Alam masih asri dan kearifan lokal terjaga.
Ini deretan wisata alam yang beberapa waktu lalu kukunjungi dan bisa dinikmati dengan telanjang mata. Sepanjang mata memandang, teman-teman akan disuguhkan trek darat yang cukup menantang. Itu dapat teman-teman rasakan begitu melewati Tanjakan Sinaik. Di situ pula, untuk terakhir kalinya mendapat jaringan internet.
Sejatinya perjalanan memang untuk dinikmati apalagi jika menembus rimba. Dengan kontur tanah perbukitan, tentunya tak membosankan saat perjalanan. Namun, apa jadinya jika suatu daerah sulit terhubung satu sama lain. Terkadang hanya ada sekolah dasar di wilayahnya baru kemudian keluar daerah untuk melanjutkan sekolah seperti di Desa Muara Selaya dan Tanjung Karang.
Itu salah satu kekhawatiran pengunjung dan juga masyarakat terhadap dunia pendidikan. Namun, itulah yang masih terjadi di tanah air. Program pendidikan merata memang harus diseriusi.
Lebih jauh, sayup-sayup suara alam menembus ke alam bawah sadar. Suara angin dan kicauan burung yang saling sahut menyahut. Dengan begitu, jalanan tanah yang dilewati tak begitu terasa apalagi jika para kru dari mobil off road memberikan gurauan.
Semakin ke dalam, semakin banyak hala rintang yang musti diterjang mulai dari sungai hingga jalan yang cukup parah. Sehingga, 4x4 harus digunakan. Ada pula jembatan yang baru dibuat dan pertama kalinya pula kami yang melewati.
Setelah semua itu, begitu melihat kebun serai maka sampailah di Desa Lubuk Bigau. Kebun serai inilah yang menjadi salah satu bahan produksi balsem dan sabun sebagai UMKM yang didampingi oleh Yayasan Hutanriau.
Di kebun serai milik warga itu juga, langsung terdapat mesin pengolahan. Sehingga, begitu siap panen, serai tersebut bisa langsung diolah pasca melewati proses-proses tertentu seperti merebus, meniriskan, menakar ke wadah, dan lainnya. Warga di sana juga memanfaatkan buah gambir dan kopi sebagai salah satu mata pencahariannya.
Potensi lain dari desa Lubuk Bigau yakni adanya air terjun yang tingginya mencapai ratusan meter. "Ukuran pastinya belum ada. Namun, kalau prediksi kami mencapai 174 meter. Namanya, Air Terjun Pangkalan Kapas," kata Kepala Desa Lubuk Bigau, Rinas saat dijumpai 10 Juni 2023 lalu.
Untuk menuju air tersebut butuh tenaga ekstra karena jalanan yang terjal. Tidak sembarang kendaraan yang bisa ke sana serta harus hiking.
Kami juga hanya mendapat kesempatan ke Air Terjun Jonjang. Meski tak begitu jauh dari pemukiman warga, namun itu benar-benar menguras tenaga dan mental. Bagaimana tidak, kami diarahkan melalui jalur baru yang mana jembatan kayu tersebut belum pernah dilintasi mobil. Dan pertama kalinya itu pula kami yang melintasi.
Jika jembatan penahan itu tidak kuat, yasudah wassalam. Belum lagi saat melintasi jembatan kayu balok yang kira-kira sepanjang 5-7 meter itu harus ditarik dengan mobil lain. Begitu sampai dipangkal jembatan langsung posisi mendaki.
Seperti kata pepatah, "usaha memang tidak mengkhianati hasil." Begitulah yang dapat kami rasakan. Setelah dag dig dug kemudian jalan melewati rimba sampai juga di Air Terjun Jonjang.
Dengan gagahnya air terjun itu menyambut para rombongan. Ada dua air terjun sekaligus. Satu air terjun utama yang cukup deras menyemburkan air ke dasar bebatuan. Di sebelahnya, air terjun tidak begitu deras.
Beberapa pengunjung langsung mencemplungkan diri ke air terjun yang kondisi airnya begitu dingin dan segar di tubuh.Â
Ada juga yang mengabadikan momen dengan berswafoto dan merekam air terjun yang diapit oleh rimba. Ada pula yang langsung menyalakan kompor untuk membuat minuman hangat berwarna dan berasa seperti kopi dan teh.
Kekayaan alam lain yang dapat dinikmati di sana yakni Tepian Sungai Kapas. Sungai ini yang biasa digunakan warga untuk mandi dan mencuci. Selain itu, yang terpenting adalah sebagai Lubuk Larangan. Sehingga, ikan-ikan di sana tidak bisa diambil begitu saja namun harus menunggu sampai waktu yang ditentukan oleh para tetua.
Dalam melestarikan alam, pihak PLN UIP Sumbagteng menyemai 11 ribu benih ikan baung ke sungai dan air terjun. Hal itu dilakukan sebagai salah satu kegiatan sosial PLN Peduli dan juga bertepatan dengan semarak Hari Lingkungan Hidup.
Hal lain yang patut dijadikan contoh yakni adanya perpustakaan pribadi milik warga. Namanya, Perpustakaan Bela. Lokasinya berdekatan dengan sungai.
Sementara untuk makanan khas yang bisa dinikmati Piwyuk-piwyuk. Kue ini dibungkus dengan bunga kantong semar.
Kita ketahui kantong semar adalah salah satu keanekaragaman hayati yang hampir punah dan dilindungi. Nah, masyarakat memanfaatkan bunga dari pada bagian kantong semar yang telah berjatuhan. Kemudian, dijadikan pembungkus kue piwyuk-piwyuk, makanan tradisional khas Lubuk Bigau.
Piwyuk-piwyuk terbuat dari bahan-bahan yang mudah dijumpai yakni pulut ketan ataupun tepung. Topingnya, bisa ayam maupun durian. Sesuai selera. Rasanya gurih.
Ada juga masakan tradisional. Salah satunya tumis lompok makanan tradisional khas Lubuk Bigau yang berbahan dasar pucuk upi, ayam kampung, dan santan kelapa.Â
Kemudian, pakasam makanan terbuat dari rebung dan untuk bumbunya ampo padi yang direndang terus ditumbuk sampai halus. Lalu, diaduk dan difermentasikan selama waktu yang ditentukan. Sebagian orang ada juga yang memberi ikan sebagai toping.
Masakan lainnya yakni sambalado imbang asam seperti membuat sambal pada umumnya dan di campurkan dengan imbang asam. Imbang asam itu sejenis terong hutan.
Di balik itu semuanya, masih adanya keresahan yang dirasakan masyarakat sana. Melalui Kepala Desa Lubuk Bigau, Rinas, dalam kesempatan bertatap muka dengan pihak PLN. Menurutnya, jika musim hujan telah tiba, listrik yang padam itu bisa mencapai berhari-hari bahkan satu minggu.
"Untuk itu kami meminta agar diberikan solusi mengenai listrik," pintanya.
Untuk diketahui sumber listrik yang berada di Lubuk Bigau ada sekitar dua tahun ini. Disebutkan Rinas sangat bersyukur dan berterima kasih karena pencahayaan di desa yang dipimpinnya telah masuk.
Keresahan selanjutnya yang dirasakan sebagai pemimpin desa yakni jaringan internet. Ia meminta agar adanya internet yang secara khusus masuk. "Kalau sekarang udah ada namun belum bisa merasakan seutuhnya. Karena warga harus ke warung internet (warnet)," katanya.
Hal lain yang menjadi catatan yakni perihal jalan dan pendidikan. Perlu adanya perbaikan jalan dan pendidikan yang merata. Itu mengingat salah satu dusun di Desa Pangkalan Kapas, warganya sudah pada pindah lantaran akses jalan yang susah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H