Kampung halaman menjadi tempat ternyaman bagi para perantau. Kampung halaman pun kerap terbesit di hati para perantau yang seolah-olah memanggil-manggil untuk pulang.
Tak jarang, orang yang tidak memiliki kampung halaman pun ingin merasakan mempunyai kampung. Terkadang, untuk bisa merasakannya, ikut pulang kampung ke rumah rekan kerjanya. Ada juga yang memilih pasangan hidup dari luar daerah.
Ngomong-ngomong soal kampung halaman, hal yang paling dirindukan selain keluarga dan ponakan yakni bisa berenang di alam di Negeri Seribu Suluk. Ya, itulah julukan kampungku di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul).
Istilah itu konon katanya lantaran banyak suluk atau tempat ibadah umat muslim. Rohul yang menjadi bagian Provinsi Riau ini disebut kental dengan islami. Itulah mengapa pakaian adatnya yakni pakaian adat Melayu itu berbentuk kurung agar tetap menutup aurat dan masih memancarkan nilai-nilai islami.
Tak jarang jika teman-teman bertandang ke Rohul akan menemui suluk. Ya, sekarang lebih bertransformasi ke musala dan masjid. Sehingga, orang-orang muslim yang bepergian jauh tetap bisa menjalankan ibadah dengan mudah.
Kampungku yang nun jauh di mata itu menjadi bagian dari Negeri Seribu Suluk. Jika dari Pekanbaru bisa ditempuh dengan sepeda motor selama 5 jam jika jalan tidak rusak. Jika dari ibukota kabupaten yakni Pasir Pengaraian sekitar 90 menit. Pasir Luhur, namanya.
Begitulah perjuangan anak desa untuk bisa mendapat pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Tak jarang, jalan rusak pun harus membuatku memutar haluan agar tetap bisa mendapat hal tersebut.
Sampai lupa karena kebanyakan mukadimah. Ya, kampungku merupakan transmigrasi dari pemerintahan mantan presiden RI Soeharto pada 1988. Pemilihan nama berdasarkan keputusan ketua rombongan saat tiba di trans saat itu.
Dipilihlah Pasir Luhur. Dikisahkan secara singkat karena dimana-mana tanahnya berpasir. Bahkan, saat membuat sumur sekalipun tanahnya berpasir sehingga menghasilkan air yang jernih.
Itu terbukti ketika jamanku masih bocil. Air yang mengalir di parit sangat jernih. Parit pun masih lebar. Sehingga, masih bisa berenang di depan rumah.
Beranjak dewasa, hutan pun mulai langka lantaran ditanami sawit. Sehingga, parit pun mulai mengecil karena tumbuhan serabut yang menghasilkan minyak.
Beruntung, masih ada beberapa parit besar yang tersisa. Salah satunya yakni parit (Transmigrasi Swakarsa Murni). Sebenarnya, itu lahan murni yang disediakan pemerintah. Meski telah ditanami sawit, paritnya masih besar sehingga anak-anak jaman sekarang masih bisa menikmati alam.
Aku sendiri jika pulang kampung suka mengecek airnya banyak atau tidak. Kemudian, mengajak ponakan untuk mandi bareng. Namun, jika banyak orang, aku tidak berani. Malu. Ingat umur wkwkÂ
Berenang di alam bisa mengajarkan anak-anak mengenal alam secara natural. Mengetahui arah arus dan kedalaman. Bagaimana menyelamatkan diri dan menolong terhadap sesama. Kemudian, melatih kekompakan.
Canda tawa riang gembira pun lahir tanpa paksaan. Secara naluriah, emosinya lepas begitu saja. Bebas berekspresi lebih tepatnya.
Anak-anak akan ramai berenang di parit TSM saat akhir pekan, libur sekolah, dan selepas MDA. Bagi mereka melepas penat setelah seharian berpikir tanpa batas.
Meski bertemu lagi dengan teman-teman nya saat berenang, namun tak menyurutkannya untuk adu lomba dan gaya renang. Tak jarang, sorak sorai tergambar dan mencairkan suasana saat ada yang kalah di garis finish. Itulah yang menjadikan salah satu kerinduan di kampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H