Pernahkah anda Kompasianer, tiba-tiba merasa ada bumbu dapur yang belum terbeli dan kebutuhan pokok serta printilan seperti minuman kemasan? Mungkin, beberapa diantara Kompasianer pernah merasakan kejadian ini.
Salah satu mengantisipasinya yakni pergi ke warung kelontong yang tanpa ribet cus langsung di depan rumah, di samping rumah, atau bahkan belakang yang jaraknya terjangkau. Jika pernah, berarti kita sama.
Hal menarik yang menjadikan warung kelontong masih menjadi daya tarik sampai sekarang yakni belanja ga pakai ribet dan bayar ga pakai lama. Itu kerap aku rasakan ketika ada hal mendesak atau belanja ke supermarket yang lumayan jauh. Belum lagi antrian yang cukup mengular.
Coba saja, kalau kita pergi belanja ke warung kelontong, tidak ditemui antrian yang mengular. Sehingga, jika hanya butuh bumbu dapur, cus bisa langsung bayar. Penjual pun langsung menerima uang, tanpa harus otak-atik komputer.
Hal lain, saat perjalanan jauh. Dimana pengendara haus dan butuh minum. Warung kelontong pun jadi andalan agar tidak take time. Bahkan, tekadang harga di warung kelontong lebih miring dibanding minimarket maupun supermarket.
Contoh kecil, jika anda membeli air mineral yang ada manis-manisnya dan juga yang dari alam di minimarket harga bisa mencapai Rp3.900 ribu atau bisa jadi lebih. Berbeda jika beli di warung kelontong yang harganya hanya Rp3.000 ribu. Perbandingan seperti itu pun bisa menjadi tolok ukur dalam menentukan tempat untuk berbelanjan.
Contoh lain yakni memajukan perekonomian masyarakat. Berbagi kepada pribumi. Itulah mengapa salah satu provinsi di Indonesia yakni Sumatera Barat (Sumbar) masih mempertahankan warung kelontong dibanding harus menerima dua perusahaan ternama yang tokonya kerap berjejeran.
Jika teman-teman belum pernah berkunjung ke Sumbar, boleh sesekali untuk melongok gaya berdagang di sana. Teman-teman akan banyak menjumpai warung kelontong di pinggir jalan dengan disuguhi pemandangan alam yang luar biasa indah. Itulah mengapa ada sebutan Sumbar Rancak.
Aku yang tinggal di Riau sungguh mengagumi provinsi yang dijuluki Ranah Minang. Suasananya sungguh adem dan sejuk, belum lagi jika ke warung kelontong berasa sedang di sebuah kampung lantaran orang-orang di sana masih menjunjung tinggi bahasa daerah. Nulis ini jadi kangen Sumbar.
Balik lagi ke warung kelontong. Selain menjadi tempat singgah sementara saat perjalanan, namun warung kelontong pun bisa menjadi tempat singgah permanen jika memang tempat yang dikunjungi masih sama. Membeli oleh-oleh dari warung kelontong sangat diperbolehkan, itung-itung menambah relasi dan memupuk jiwa sosial.
Pembeli di warung kelontong pun memiliki keunikan masing-masing dengan mengelompokkan daftar belanjaan sesuai harga. Hayo ngaku haha
Biasanya para pembeli sudah tau jika harga kebutuhan pokok di warung kelontong A lebih mahal daripada di tempat B, namun untuk kebutuhan seperangkat mandi lebih murah. Dengan begitu, kedua warumg tersebut akan tetap didatangi sesuai harga yang murah.
Ada juga yang karena sayur mayurnya murah, kopi dan teh murah, dan masih banyak lagi. Begitulah tipe-tipe pembeli warung kelontong dan segala hal yang berkaitan dengannya. Kedepan semoga warung kelontong masih tetap bertahan di era semua serba online. Panjang umur warung kelontong. (Sofiah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H