Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Aku Sayang Bapak

29 November 2018   02:04 Diperbarui: 29 November 2018   02:11 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini matahari enggan menunjukkan sosoknya. Didahului oleh sang awan yang kelam. Rumah joglo dengan halaman luas ini berselimutkan udara dingin yang menusuk. Kueratkan dekapan tanganku di depan perut. Berusaha menyembunyikan kedua kepalan tanganku di baliknya.

"Enak ya, Mbak. Bisa jalan-jalan tiap hari dengan suasana seperti ini," celetuk Hafizh, adik pertamaku dari pernikahan Ibu dan suaminya yang baru. Aku tersenyum. Enggak juga. Setiap hari aku hidup di kost. Jarang jalan-jalan setiap pagi. Kalau di rumah, pagi-pagi seperti ini aku masih berselimut di tempat tidur. Mungkin perkiraannya aku masih tinggal bersama Mbah Putri dan Mbah Kakung setiap harinya.

Hidup di kost, jauh dari Mbah Putri dan Mbah Kakung. Sebenarnya itu bukan masalah, tapi hal yang paling menyedihkan adalah ketika membutuhkan uang untuk keperluan mendadak atau ketika sedang ada banyak tugas tanpa ada seorang pun yang menyemangati. Aku menggenggam tangan Qorry, adikku sekaligus adik Hafizh. Tangannya dingin. Dia 10 tahun lebih muda dariku. Usianya baru 6 tahun.

"Mbak, habis ini kita main ke kolamnya Mbah Kakung, yuk?" ajak Qorry dengan suara kecilnya.

"Boleh. Nanti kita kasih makan ikan-ikannya Mbah Kakung, ya?" jawabku. Qorry mengangguk cepat. Kadang senang mempunyai adik-adik seperti mereka, tapi kadang aku bertanya-tanya. Apakah mereka tahu jika sebenarnya aku bukan kakak kandung mereka? Apa yang akan mereka lakukan jika mereka tahu aku bukan kakak mereka? Aku menoleh pada Zira, adik kandungku yang berdiri dengan menggandeng tangan Hafizh di sampingku.

"Wut?" tanyanya sambil mengangkat alis. Aku menggeleng. Dia menghela nafas.

"Eh, Mbak, seandainya kita dihubungin sama Bapak, gimana, Mbak?" aku terkejut dengan ucapannya.

"Dihubungin? Bukane Bapak dah ninggal? Hubunginnya gimana? Ada wartel di sana? Ada-ada aja," jawabku dengan sedikit bernada tinggi. Mustahil sekali. Zira terdiam. Dia menunduk.

Bapak. Sosok laki-laki yang selama ini kurindukan. Semenjak kelahiranku dan Zira, belum pernah sekalipun bertemu dengan beliau. Iri rasanya melihat teman-teman yang lain yang kedua orangtuanya masih ada dan bersatu. Ingin rasanya aku mempunyai mesin waktu dan mengetahui bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Bagaimana kejadiannya sehingga Bapak bisa meninggal dunia. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengetahuinya. Mbah Putri dan Mbah Kakung sama sekali tak memberi jawaban tentang pertanyaanku. Beliau hanya memberitahu jika Bapak telah meninggal dunia ketika aku belum dilahirkan. Tanpa ada keterangan yang jelas. Pusara Bapak pun tak pernah beliau beritahukan kepada kami. Entahlah karena apa.

"Mbak, pulang ae, yuk? Dah mau jam setengah tujuh, lho," Zira melihat jam di layar handphone-nya. Aku mengangguk. Kugendong Qorry yang berbadan kecil di punggungku. Kasihan dia jika harus berjalan di atas bebatuan lagi untuk kembali ke rumah. Kami memang tak mengenakan alas kaki. Batuannya masih dingin dan licin, jadi lebih nyaman tak memakai alas kaki.

"Assalamu'alaikum," seru kami berempat berbarengan. Masuk dari pintu dapur adalah kebiasaanku dan Zira. Kalau masuk dari pintu depan tak kan ada yang membukakan pintu. Mbah Putri dan Ibuk ada di dapur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun