"Hallo? Ada apa Zira, tumben telpon?" ada suara seorang laki-laki di ujung sana. Aku terkejut. Jantungku terasa berhenti 2 detik. Tak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan. Zira menarik handphone-nya lagi.
"Pak, ini yang mau ngomong Mbak Zahra," ujar Zira. Aku masih saja tak bisa berkata apa-apa. Ini kenyataan? Atau hanya mimpi?
"Hallo Zahra, gimana kabarnya? Maaf ya, Bapak nggak telpon ke nomernya Zahra. Bapak masih takut nanti Zahra nggak maafin Bapak," aku mendengar suara itu mengalun begitu merdu di telingaku. Begitu indah dan terekam jelas di otakku. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi. Rindu yang selama ini kupendam seolah-olah membuncah dan surut.
"Ba-Bapak?" suaraku bergetar.
"Iya Zahra? Zahra mau panggil Bapak? Iya.. maafin Bapak ya? Selama ini nggak jenguk Zahra Zira. Selama ini Bapak cuma bisa ngeliatin Zahra Zira dari jauh.. Bapak masih terlalu takut buat deketin Zahra Zira. Bapak minta maaf Zahra.. Zahra mau maafin Bapak?" aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku tak sanggup menahan tangisku. Air mata terus bercucuran. Zira mengganti mode menjadi loudspeaker. Dia juga terlihat agak sembab.
"I-Iya Pak. Zahra maafin Bapak," ujarku akhirnya.
"Ya Allah, Zahra. Maafin Bapak, nak. Bapak sia-siain anak-anak Bapak. Bapak tinggalin Zahra Zira 15 tahun ini. Bapak nyakitin hati Ibu, Zahra, Zira, Mbah Putri, Mbah Kakung. Maafin Bapak. Bapak nyesel sia-siain kalian. Bapak nyesel lari sama wanita lain. Maafin Bapak, nak.. Maafin Bapak," cerita Bapak panjang lebar. Suara Bapak menjadi sedikit gemetar. Detak jantungku semakin cepat dan keras. Perasaan bahagia, sedih, marah, haru berbaur menjadi satu. Kini aku menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini.
Kemana Bapak? Kalau Bapak sudah meninggal, di mana pusaranya? Kenapa Bapak bisa meninggal? Semuanya sekarang telah terjawab. Aku tahu. Mbah Putri, Mbah Kakung, dan Ibu berusaha menyembunyikan semua masa lalu itu dariku dan Zira.
"Bapak merasa nggak pantas dipanggil bapak sama kalian. Maafin Bapak ya, nak? Mungkin ucapan maaf Bapak selama sisa umur Bapak belum tentu bisa menebus kesalahan Bapak atas kebodohan Bapak ini," aku menahan tangisku. Zira bercucuran air mata sambil membungkam mulutnya. Untunglah Mbah Putri Kakung dan yang lainnya belum pulang dari tempat Mbah Kardi.
"Aku sayang Bapak,"
>>>>>>>>