Hari ini Warni mendapat kabar buruk dari kampung. Bibinya meninggal dunia. Dia minta izin pulang selama tiga hari. Aku mengizinkannya dengan syarat tidak perlu memberitahu Thomas. Aku tidak mau anakku sampai tinggal menemaniku di Malang ini atau bahkan menjemputku untuk tinggal di Surabaya dengan keluarganya sampai Warni kembali.
Sonny masih kuliah di sini. Aku kuatir dia tinggal sendirian di rumah ini. Kasihan anak itu. Siapa yang akan menyiapkan makanan untuknya? Mencuci piring dan gelas kotor bekas makannya? Mencuci dan menyeterikakan pakaiannya? Cucuku tak bisa melakukan semua itu.
Dulu Warni pernah pulang satu kali. Waktu itu Sonny kebetulan libur kuliah. Kami berdua dijemput Thomas untuk tinggal bersama keluarganya di Surabaya. Aku tidak betah tinggal di sana. Kelihatan sekali anak dan istriku tidak suka melihatku selalu melayani Sonny sampai hal-hal kecil. Jauh berbeda dengan sikapku yang cenderung acuh tak acuh pada cucu-cucu yang lain. Sejak saat itulah aku merasa enggan jika diajak menginap di sana.
Kepulangan Warni tidak diketahui oleh Sonny. Cucu kesayanganku itu sudah pergi ke kampus duluan sebelum pembantu kami mengetahui kabar duka tersebut. Kuberi Warni ongkos untuk pulang kampung. Lalu dia naik ojek online menuju terminal bis.
Tinggallah aku sendirian di rumah yang terdiri dari dua lantai ini. Warni tadi pagi sudah masak nasi dan sedikit lauk, mengelap perabot, dan menyapu lantai. Berarti aku harus melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Hal itu tidak menjadi masalah bagiku. Karena sebelum pindah ke rumah ini, aku sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga di rumah kontrakanku yang sederhana.
Warni tadi bilang kalau pakaian-pakaian kotor sudah selesai dicuci. Aku tinggal mengeluarkannya dari dalam mesin cuci dan menjemurnya saja. Tapi dia berkata belum sempat mengepel lantai. Baiklah, akan kuselesaikan pekerjaan pembantuku yang belum tuntas. Tidak enak rasanya melangkah di atas lantai yang belum dipel.
Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu kulakukan dengan pelan-pelan sekali. Jadi selesainya lama, Â beberapa jam. Maklum, aku mengepel lantai dua dan satu sekaligus. Untung Warni tadi masih sempat merapikan kamar-kamar. Jadi agak meringankan pekerjaanku.
"Aduh! Punggung dan pinggangku pegal sekali. Serasa mau patah," keluhku saat pekerjaanku selesai.
Kurebahkan tubuhku di atas sofa yang empuk. Mataku terpejam selama beberapa saat. Hampir saja aku tertidur kalau tidak tiba-tiba teringat belum menyiapkan makan siang buat cucuku!
Aku bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan menuju ke ruang makan. Kulihat ada sop sayur dan telur dadar.
"Ah, Sonny masa mau makan sop sayur?" komentarku begitu melihat menu yang tersedia di atas meja makan. "Masa dia cuma makan telur dadar? Kasihan."