"Eyang, aku sudah pulang," ucap Sonny tak bersemangat.
Wajahnya datar-datar saja, tanpa ekspresi. Penampilan pemuda itu memang tak menyolok untuk ukuran laki-laki berusia sembilan belas tahun. Badannya tinggi kurus. Kulitnya kuning langsat. Wajahnya persegi. Tidak tampan juga tidak jelek. Standarlah. Kacamata minus yang agak tebal bertengger di atas hidungnya. Menutupi sorot matanya yang acuh tak acuh.
Ya, cucu kesayanganku ini memang tidak ekspresif. Dia cenderung pendiam dan selalu asyik dengan ponselnya. Aku tak mempermasalahkannya. Selama Sonny bisa hidup nyaman bersamaku di rumah ini, hatiku merasa bahagia.
"Kamu lapar ya, Son?" tanyaku penuh kasih sayang. "Tadi Eyang sudah minta Mbak Warni buatin ayam goreng krispi untukmu. Sepertinya sudah matang. Sebentar Eyang lihat dulu di dapur. Kamu tunggu di sini, ya."
Cucuku mengangguk pelan. Dia sudah duduk di atas meja makan dan seperti biasa asyik dengan ponselnya. Entah game apa yang dimainkannya. Aku tak mengerti. Pun tak mau ambil pusing. Yang penting Sonny senang, sehat, dan tak pernah membuat masalah.
Aku berjalan perlahan-lahan menuju ke dapur. Langkah kakiku memang sudah tak selincah dulu. Maklum umurku sekarang menjelang delapan puluh dua tahun. Tapi kondisi tubuh ini yang termasuk sehat untuk ukuran orang seusiaku membuatku sudah sangat bersyukur.
"Warni, apa kamu sudah selesai menggoreng ayamnya?" tanyaku pada pembantu rumah tangga kami.
Perempuan bertubuh tinggi besar yang telah tiga tahun menemaniku tinggal di rumah ini menoleh. Parasnya tampak tidak suka. Aku tak mempedulikannya. Kutanyakan lagi tentang ayam goreng krispi yang merupakan menu favorit cucuku tercinta.
"Sudah matang, Bu. Ada enam potong," jawab pembantuku itu singkat.
"Kalau begitu kamu ambil dua potong buat makan siang sama malam, War," kataku. "Sisanya nanti buat Sonny semua."
"Lho, terus Ibu makan apa? Itu empat potong ayam kan kebanyakan buat Sonny. Ibu ambil dua potong untuk dimakan sendiri saja."
"Nggak usah," jawabku bersikeras. "Ayam goreng krispi itu kesukaan cucuku. Dia lahap sekali kalau makan itu. Kamu buatkan aku telur dadar saja."
"Masa setiap hari makan telur dadar, Bu? Ini ada rawon. Ibu makan, ya. Ibu kan dulu suka."
Iya dulu, batinku pedih. Dulu sewaktu Rendy masih hidup. Karena rawon adalah masakan kesukaannya. Ayah kandung Sonny itu adalah anak kesayanganku. Walaupun aku tidak ada masalah dengan Thomas, anak bungsuku, tapi Rendy selalu menempati posisi istimewa dalam hatiku.
Dia merupakan buah cinta kasihku dengan mendiang suamiku. Di saat kami berdua masih saling mencintai. Di saat perkawinan kami masih harmonis. Di saat kami belum mengalami kesulitan keuangan yang menimbulkan pertengkaran tanpa henti....
Tiba-tiba air mataku menitik. Warni menghela napas panjang. "Ya sudahlah, Bu, kalau nggak mau makan rawon. Saya buatkan telur dadar, ya."
Aku mengangguk. Lalu kuminta piring berisi ayam-ayam itu. "Nggak usah, Bu," tolaknya halus. "Saya hidangkan sendiri saja di meja makan."
"Biar aku saja yang bawa, War. Nggak apa-apa," sahutku berkeras.
Warni mengalah. Dia tahu tak ada gunanya menentang pendirianku. Aku masih sehat. Tak perlu terlalu dilayani. Aku malah suka melayani cucu kesayanganku. Menyiapkan makanan untuknya merupakan kebahagiaan bagiku. Sebagaimana yang dulu sering kulakukan pada mendiang ayahnya.
Sayang sekali, ketika aku mengangkat tanganku untuk menerima piring itu, tiba-tiba tanganku bergetar.
Pranggg! Piring itu terjatuh. Isinya berceceran di lantai dapur.
"Ibu nggak apa-apa?" tanya pembantuku panik. "Tangan Ibu gemetaran tadi sampai piringnya jatuh. Sudah, biar saya saja yang bersihkan pecahan-pecahan piring itu. Ayam-ayamnya jadi nggak bisa dimakan. Sonny makan rawon aja ya, Bu. Nanti saya gorengkan telur juga."
Aku menggeleng. "Sonny kan nggak suka rawon, War. Dia lebih suka makanan keringan kayak goreng-gorengan gitu. Kalau makan telur saja, kasihan dia. Nanti nggak puas makannya."
"Ibu terlalu memanjakan Sonny," cetus Warni berani. "Dia kan sudah besar, Bu. Masa setiap hari makannya ayam goreng, kentang goreng, nugget, atau mie goreng instan sama telur melulu! Itupun dia nggak bisa siapin sendiri. Ambil nasi sendiri saja jarang sekali. Selalu Ibu yang menyiapkannya."
"Tutup mulutmu!" teriakku tidak terima.
Mataku melotot tajam saking marahnya. Kurang ajar sekali orang ini. Memangnya dia siapa? Cuma pembantu yang dipekerjakan Thomas untuk menemaniku di rumah ini. Walaupun bukan aku yang menggajinya setiap bulan, tapi Warni tidak berhak mengatur-aturku. Akulah nyonya yang berkuasa di rumah ini. Aku!
Ketika aku hendak melabrak perempuan itu lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara Sonny berkata, "Eyang, Sonny lapar sekali. Sudah matang belum ayam gorengnya?"
Sebelum aku sempat menjawab, Warni lebih dulu menyeletuk, "Sudah matang, Son. Tapi pas Ibu mau bawa, piringnya tadi tiba-tiba jatuh dan pecah. Itu kamu lihat sendiri, berantakan di lantai, kan?"
Pandangan Sonny mengarah pada pecahan piring dan potongan-potongan ayam yang berserakan di lantai dapur. Raut wajahnya tampak kecewa.
"Wah, kalau gitu Sonny makan apa dong, Mbak?" tanya cucuku sambil cemberut.
"Lho, Son. Kamu kok bingung sendiri sama ayamnya? Nggak kuatir sama keadaan eyangmu," tegur Warni sewot. "Dilihat kek, tangan dan kaki Eyang gimana? Luka nggak kena pecahan piring? Terus kenapa tadi tangannya bergetar waktu menerima piring dari Mbak? Apa Eyang sedang nggak enak badan atau sakit apa gitu?"
"Sudah, sudah!" seruku menengahi. "Aku nggak apa-apa. Kamu sudah lapar sekali ya, Son? Kalau begitu kamu pesan ayam goreng saja secara online. Kan restorannya dekat dari sini. Kamu nggak usah nunggu lama."
"Sonny pergi ke restorannya langsung saja, Eyang. Naik motor cepat sampai. Biar Sonny bisa langsung makan dan sekalian minum es krim di sana."
"Ya sudah, kalau maumu begitu. Ayo kita keluar sekarang. Biar Mbak Warni bersihkan dapur dulu."
Aku langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Sempat kulihat tadi mata pembantuku melotot ketika mendengar cucuku berkata mau makan langsung di restoran. Aku sungguh tidak suka. Saking usiaku sudah tua. Tak mampu lagi melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian. Apalagi di rumah dua lantai ini. Rumah yang dibelikan Thomas untukku tiga tahun yang lalu. Yang membuatku akhirnya bisa tinggal di rumah sendiri, tidak melulu di rumah kontrakan. Jadi aku terpaksa menahan diri untuk tidak mengusir Warni setiap kali dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada cucu kesayanganku.
Sonny mengikutiku masuk ke dalam kamar. Diperhatikannya aku membuka laci yang berada di dalam lemari pakaian. Kukeluarkan dompet kecilku. Kuambil uang seratus lima puluh ribu. Kuberikan pada cucuku tercinta.
"Ini uang buat makan ayam dan minum es krim di restoran," ucapku lembut. "Makan yang banyak ya, Son. Supaya sehat. Itu nanti uang kembaliannya kamu simpan saja. Buat jajan besok di kampus."
"Siap, Eyang," jawab Sonny dengan wajah berseri-seri. Hatiku bahagia sekali. Sama halnya setiap kali aku dulu memberi uang pada ayahnya dulu.
Rendy, Mama kangen sekali padamu, Nak, batinku pedih. Sudah tiga tahun kamu pergi ke rumah Tuhan. Untung ada Sonny yang menemani Mama di sini. Kalau tidak, hidup Mama sudah tidak ada artinya lagi....
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H